Sebelum zaman Nabi Ibrahim, praktik kurban telah mengakar dalam peradaban manusia, namun sarat dengan nuansa kelam dan penuh kontradiksi. Di berbagai belahan dunia, kurban menjadi wujud persembahan kepada tuhan atau dewa-dewa yang acap kali digambarkan sebagai entitas yang jauh dari nilai moral dan tidak peduli pada nasib manusia.
Menurut Huston Smith (1985), agama-agama demonik yang berkembang di kalangan masyarakat Yunani, Romawi, Suriah, dan komunitas di pesisir Laut Tengah memuja dewa-dewa yang cenderung acuh tak acuh. Dalam keyakinan mereka, dewa-dewa ini tidak terikat pada kaidah moral, menjadikan ritual kurban sebagai sarana untuk menenangkan atau memohon keberpihakan mereka.
Praktik kurban pada masa itu tidak hanya terbatas pada hewan atau hasil bumi. Di kalangan masyarakat Kanaan (3500–1100 SM) yang mendiami wilayah Lebanon, Suriah, dan Yordania, anak-anak menjadi korban persembahan kepada dewa Moloch. Di peradaban Minoan Yunani (2700–1450 SM), manusia dikorbankan untuk memenuhi kehendak dewa-dewa mereka.
Bahkan, di Mesir Kuno, gadis-gadis suci ditenggelamkan ke dalam Sungai Nil sebagai persembahan kepada penguasa sungai yang mereka sembah. Ritual-ritual ini mencerminkan pandangan dunia yang kelam, di mana manusia berupaya meredam ketakutan terhadap kekuatan supranatural dengan pengorbanan yang tragis.
Kedatangan Nabi Ibrahim (1997–1822 SM) menandai titik balik dalam sejarah spiritual manusia. Melalui dakwahnya, ia memperjuangkan transformasi dari agama demonik menuju agama etis yang mengajarkan konsep Tuhan yang Maha Baik dan peduli terhadap ciptaan-Nya.
Upaya ini melahirkan Millah Ibrahim, sebuah model beragama yang menjadi fondasi bagi tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam, yang dikenal sebagai agama-agama Ibrahimi. Salah satu perubahan mendasar yang diperkenalkan adalah penggantian kurban manusia dengan kurban hewan, sebuah langkah revolusioner yang menegaskan nilai kemanusiaan.
Kisah kurban Nabi Ibrahim menjadi simbol abadi dari transformasi ini. Ketika ia diperintahkan Allah untuk mengorbankan putranya, Ismail, Ibrahim menunjukkan ketaatan yang luar biasa. Namun, pada saat kritis, ketika pisau telah menyentuh leher Ismail, Allah menggantikan putranya dengan seekor domba melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Peristiwa ini tidak hanya menegaskan kasih sayang Tuhan, tetapi juga mengukuhkan bahwa kurban dalam agama Ibrahimi adalah simbol ketundukan dan rasa syukur, bukan pengorbanan nyawa manusia.
Namun, praktik kurban di kalangan keturunan Ibrahim tetap dipengaruhi tradisi lokal. Bangsa Arab, keturunan Ismail (1911–1774 SM), menjadikan daging kurban sebagai sesajen di atas berhala dan darahnya disiramkan ke berhala, dengan keyakinan bahwa persembahan itu diterima Tuhan.
Di kalangan Yahudi, yang dakwahnya dimulai oleh Nabi Musa (1527–1407 SM), kurban hewan seperti lembu dan kambing dilakukan melalui ritual bakaran yang diatur ketat, disebut sebagai “kurban api-apian yang baunya menyenangkan bagi Tuhan” (Kitab Imamat 1).
Puncak penyempurnaan kurban hadir pada zaman Nabi Muhammad (571–632 M). Beliua membawa risalah Islam sebagai kelanjutan Millah Ibrahim. Dengan ajaran bahwa inti sifat Allah adalah rahmah (tauhid rahmatiah), Islam menegaskan posisinya sebagai penyempurna agama-agama Ibrahimi.
Nabi Muhammad mensyariatkan kurban pada tahun kedua Hijriah, menggantikan tradisi ‘antarah—penyembelihan hewan sebagai ungkapan syukur yang telah dilakukan masyarakat Arab, termasuk Nabi dan para sahabat sebelumnya.
Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hajj (22:34–37) menjelaskan status dan semangat kurban. Ayat 34 menyatakan bahwa kurban adalah ajaran universal dalam setiap agama, bertujuan mengingat asma Allah atas anugerah hewan ternak. Ayat 36 menyebut kurban sebagai syi’ar yang membawa kebaikan, termasuk pembagian daging kepada yang berhak—seperti fakir miskin—selain untuk keluarga yang berkurban. Ayat 37 menegaskan bahwa yang sampai kepada Allah bukanlah daging atau darah kurban, melainkan ketakwaan pelakunya.
Dengan demikian, kurban dalam Islam bukan sekadar ritual, tetapi wujud keimanan, solidaritas sosial, dan ketaatan kepada Allah.
Nabi Muhammad sendiri mempraktikkan kurban dengan menyembelih dua ekor kambing: satu untuk keluarganya (Bani Hasyim) dan satu untuk umatnya. Ia juga membolehkan sahabat berkurban secara patungan, dengan sapi untuk tujuh orang dan unta (al-jazur) untuk sepuluh orang, memungkinkan partisipasi yang lebih luas.
Namun, setelah wafatnya Nabi, praktik kurban mengalami perubahan. Banyak sahabat yang membanggakan kurban mereka, sehingga kurban kambing yang semula untuk satu keluarga atau klan berubah menjadi satu kambing untuk satu orang.
Tradisi ini kemudian dirumuskan sebagai al-isytirak fi ats-tsaman (patungan dalam pembelian hewan) dan al-isytirak fi ats-tsawab (berbagi pahala kurban), menegaskan dimensi kolektif dan spiritual kurban.
Dari ritual demonik yang penuh ketakutan, kurban berevolusi menjadi simbol ketaatan dan kasih sayang melalui Millah Ibrahim, hingga mencapai penyempurnaan dalam Islam sebagai wujud ketakwaan dan solidaritas.
Referensi:
Hamim Ilyas, Sejarah, “Dimensi, dan Makna Kurban”, Makalah yang disampaikan dalam acara Seminar Nasional Fikih Kurban Kontemporer di Yogyakarta pada Sabtu, 26 Maret 2022.