MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam pengajian Malam Selasa yang diselenggarakan pada Senin (16/06), Wakil Bendahara Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Akhmad Arif Rifan, menyampaikan ceramah tentang peristiwa Perang Khaibar.
Fokus utama ceramahnya adalah hikmah di balik peristiwa tersebut, khususnya bagaimana kemenangan kaum muslimin membuka jalan bagi amaliah wakaf yang menjadi warisan berharga hingga kini. Beliau mengajak jemaah untuk merenungi potensi wakaf dan kekuatan masjid sebagai fondasi membangun umat di tengah tantangan zaman.
Pengajian yang berlangsung di hadapan jemaah ini mengambil latar belakang sejarah Perang Khaibar, yang terjadi pada tahun ketujuh hijriah. Akhmad Arif menjelaskan bahwa perang ini dipicu oleh provokasi orang-orang Yahudi dari Bani Qainuqa dan Bani Nadir, yang diusir dari Madinah akibat melanggar perjanjian damai dengan Rasulullah SAW.
Bani Qainuqa dan Bani Nadir berkumpul di Khaibar, wilayah subur di utara Madinah, dan menghasut suku-suku musyrik Makkah untuk menyerang kaum muslimin. Kekuatan musuh yang mencapai 10.000 orang ini menjadi tantangan besar bagi Rasulullah SAW yang hanya memiliki sekitar 3.000 pasukan dalam Perang Khandaq atau strategi parit.
Dalam Perang Khandaq, solusi cerdas dari sahabat Salman Al-Farisi untuk menggali parit menyelamatkan kaum muslimin dari kepungan musuh. Meski membutuhkan pengorbanan besar strategi ini berhasil mematahkan serangan musuh.
Setelah perjanjian Hudaibiyah menciptakan momentum perdamaian dengan Quraisy, Rasulullah SAW mengalihkan fokus ke Khaibar untuk menghentikan provokasi orang-orang Yahudi. Dengan pasukan sekitar 1.500 orang, Rasulullah menghadapi 9.500 musuh yang berlindung di delapan benteng Khaibar. Kemenangan diraih melalui strategi kejutan, seperti menyerang setelah subuh dan memilih rute sulit melalui kebun kurma.
Kisah Khaibar tidak hanya tentang kemenangan militer, tetapi juga tentang hikmah yang melahirkan amaliah wakaf. Setelah perang, Rasulullah membagi hasil ghanimah (harta rampasan) menjadi 3.600 bagian, separuh untuk peserta perang dan separuh untuk kepentingan umat, termasuk mereka yang terlibat dalam perjanjian Hudaibiyah.
Salah satu sahabat, Umar bin Khattab RA, yang menerima bagian besar, terkejut dengan nilai aset tersebut. Bukannya terlena, Umar meminta petunjuk Rasulullah SAW dan memutuskan untuk mewakafkan hartanya, menahan pokoknya dan menyedekahkan hasilnya. Keputusan ini menjadi salah satu momen bersejarah dalam perkembangan wakaf, yang kemudian diikuti oleh banyak sahabat lain.
Akhmad Arif juga menyoroti kisah wakaf Utsman bin Affan RA, yang membeli sumur milik seorang Yahudi di Madinah untuk diwakafkan bagi kaum muslimin. Sumur ini, yang kini dikelola sebagai kebun, hotel, dan masjid, telah berjalan selama lebih dari 1.400 tahun, menghasilkan beasiswa dan manfaat lainnya.
Contoh lain adalah wakaf Ratu Zubaidah, yang membangun saluran irigasi dari Irak ke Makkah untuk membantu jemaah haji, serta kereta api Hijaz dari Damaskus ke Madinah. Kisah-kisah ini menunjukkan betapa wakaf telah menjadi kekuatan umat sejak zaman Rasulullah hingga era modern.
Dengan penuh semangat, beliau mengajak jemaah untuk memanfaatkan potensi wakaf dan masjid di Indonesia, negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia, yakni sekitar 800.000 masjid. Berdasarkan data SIMAS Kemenag, masjid-masjid ini memiliki potensi ekonomi luar biasa.
Jika setiap masjid menghasilkan Rp500.000 per Jumatan, dengan 52 Jumat dalam setahun, dana yang terkumpul dari 2.000 masjid saja bisa mencapai Rp2 miliar. Jika dikalikan dengan 800.000 masjid, potensi wakaf tunai nasional mencapai triliunan rupiah. Namun, realitas menunjukkan bahwa hanya Rp3 triliun yang terealisasi, jauh di bawah potensi Rp600 triliun yang disia-siakan untuk judi online.
Akhmad Arif menegaskan bahwa tantangan seperti judi online, miras, dan prostitusi harus dilawan dengan kekuatan masjid dan wakaf. Masjid bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, ekonomi, dan pemberdayaan umat.
Beliau merujuk pada muktamar masjid di Makkah tahun 1975, yang menetapkan lima ciri masjid ideal: tempat ibadah yang memisahkan laki-laki dan perempuan, ruang pertemuan, perpustakaan, area olahraga anak dan remaja, serta fasilitas klinik dan pengurusan jenazah. Dengan pengelolaan yang baik, masjid dapat menjadi benteng melawan degradasi moral dan ekonomi umat.
Ceramah ini ditutup dengan refleksi bahwa mempelajari sirah nabawiyah bukan hanya tentang kronologi sejarah, tetapi juga tentang menyerap hikmah untuk diterapkan di masa kini. Peristiwa Khaibar mengajarkan pentingnya strategi, pengorbanan, dan kepekaan sosial melalui wakaf.
Hijrah Rasulullah SAW menunjukkan tiga langkah membangun umat: mendirikan masjid, mempersaudarakan muslimin, dan membangun pasar. Langkah-langkah ini relevan untuk menghadapi tantangan kontemporer, dengan masjid sebagai pusat kekuatan umat.