Dalam dinamika kehidupan umat Islam, kalender Hijriah memiliki peran penting sebagai penentu waktu pelaksanaan ibadah, seperti puasa Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Namun, perbedaan penetapan awal bulan Hijriah di berbagai belahan dunia kerap memunculkan tantangan dalam menjalankan ibadah secara serentak.
Munculnya gagasan Kalender Hijriah Global Tunggal merupakan sesuatu yang menarik. Muhammadiyah sendiri mendukung penuh gagasan ini. Sebab KHGT merupakan sistem kalender yang menyeragamkan tanggal di seluruh dunia berdasarkan prinsip satu hari satu tanggal.
Namun, apakah konsep ini sejalan dengan maqasid syariah, yakni tujuan-tujuan syariat Islam yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat?
Maqasid syariah merupakan inti dari seluruh ketentuan syariat yang bertujuan menghadirkan kemaslahatan bagi manusia, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Al-Qur’an menegaskan tujuan universal ini melalui firman Allah dalam Surah Al-Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”.
Ayat di atas menjadi landasan maqasid syariah umum, yakni mewujudkan rahmat dan kesejahteraan universal.
Maqasid syariah terbagi menjadi tiga kategori: umum, parsial, dan spesifik. Maqasid umum mencakup tujuan keseluruhan syariat, seperti menjaga kemaslahatan umat. Maqasid parsial berfokus pada ketentuan syariat dalam bidang tertentu, misalnya perlindungan harta (ḥifẓ al-māl), keluarga (ḥifẓ an-nasl), dan agama (ḥifẓ ad-dīn). Sementara itu, maqasid spesifik merujuk pada tujuan hukum tertentu, seperti kewajiban puasa Ramadan yang bertujuan melatih ketakwaan.
Untuk merumuskan maqasid ini, para ulama menggunakan metode linguistik, induksi, pembedaan sarana dan tujuan, penalaran rasional, serta mengikuti langkah para Sahabat.
Kalender Hijriah Global Tunggal dan Kemaslahatan Umat
KHGT mengusung prinsip keseragaman waktu di seluruh dunia, di mana awal bulan baru ditetapkan pada hari yang sama tanpa mempedulikan perbedaan matlak (titik pengamatan hilal). Konsep ini menawarkan potensi kemudahan dalam manajemen waktu ibadah dan aktivitas umat Islam secara global.
Namun, apakah konsep ini selaras dengan maqasid syariah?
Secara induktif, keberadaan kalender yang akurat merupakan bagian dari maqasid syariah. Al-Qur’an dalam Surah Al-Hasyr ayat 18 memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok”.
Ayat di atas menegaskan pentingnya manajemen waktu yang baik, yang hanya mungkin tercapai dengan sistem kalender yang akurat. Di era modern, perencanaan kegiatan, baik ibadah maupun urusan duniawi, mustahil dilakukan tanpa kalender yang jelas dan terpercaya.
Selain itu, Al-Qur’an dalam Surah Yunus ayat 5 menegaskan bahwa Allah menciptakan matahari dan bulan sebagai alat perhitungan waktu:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menetapkan fase-fasenya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu”.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kalender berbasis pergerakan matahari dan bulan adalah bagian dari tatanan ilahi untuk mengatur kehidupan manusia.
Lebih jauh, Surah At-Taubah ayat 36-37 menegaskan bahwa bilangan 12 bulan dalam setahun adalah bagian dari ad-dīn al-qayyim (agama yang benar):
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah ketika menciptakan langit dan bumi; empat bulan di antaranya haram. Itulah agama yang benar”.
Ayat di atas menegaskan bahwa sistem kalender yang benar merupakan unsur agama yang lurus, sejajar dengan tauhid, salat, dan zakat sebagaimana disebutkan dalam Surah Yusuf (12:40) dan Al-Bayyinah (98:5).
Dukungan terhadap Kalender Hijriah Global Tunggal juga dapat ditemukan dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa itu adalah pada hari seluruh kamu berpuasa, Idulfitri itu adalah pada hari seluruh kamu beridulfitri, dan Iduladha itu adalah pada hari seluruh kamu beriduladha” [HR at-Tirmidzi]).
Hadis di atas menekankan pentingnya keseragaman waktu pelaksanaan ibadah umat Islam. Puasa Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha idealnya dilakukan secara serentak oleh seluruh umat Islam di dunia, sebuah kondisi yang hanya dapat tercapai dengan adanya kalender global tunggal.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa catatan penting sebagai berikut:
- Terwujudnya sistem kalender yang akurat sebagai bagian dari upaya manajemen waktu yang baik dapat dipandang sebagai maqasid syariah, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an, terutama Surah Al-Hasyr ayat 18, Surah Yunus ayat 5, dan Surah At-Taubah ayat 36-37.
- Hadis Abu Hurairah yang menyatakan bahwa puasa, Idulfitri, dan Iduladha dilakukan pada hari yang sama oleh seluruh umat Islam (HR at-Tirmidzi) mengisyaratkan dengan kuat bahwa Kalender Hijriah Global Tunggal merupakan bagian dari maqasid syariah, karena mendukung keseragaman waktu ibadah.
- Rukyat fisik dalam menentukan awal bulan, termasuk bulan-bulan ibadah, adalah sarana, bukan tujuan (maqasid) dari hadis yang memerintahkan rukyat. Tujuan utama hadis tersebut, yang mencerminkan maqasid syariah, adalah memastikan penentuan awal puasa secara akurat dan pasti.
Dengan demikian, Kalender Hijriah Global Tunggal memiliki landasan kuat dalam maqasid syariah, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Konsep kalender ini berpotensi menjadi sarana modern untuk mengaktualisasikan ad-dīn al-qayyim di tengah dunia yang semakin terhubung.
Referensi:
Asy-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt, diedit oleh Abū ‘Ubaidah Masyhūr Ibn Ḥasan Āl Salmān (al-Khubar: Dār Ibn ‘Affān li an-Nasyr wa at-Tauzīʻ, 1417/1997).
Syamsul Anwar, “at-Taqwīm al-Islāmī al-Aḥadī fī ḍaw’i ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh”, Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 54, no. 1 (2016).