MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Penguatan literasi akan membentuk masyarakat yang cerdas, beradab, dan berbudaya. Sebaliknya jika literasi rendah kecerdasan berkurang, adab menjauh, dan budaya menjadi luruh.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada Rabu (18/6) dalam acara pembukaan Islamic Book Fair (IBF) 2025 di Jakarta menyebut, rendahnya tingkat literasi dapat diketahui ketika melihat keadaban publik.
Haedar mengambil contoh orang yang rendah literasinya akan lebih suka ngobrol ngalor-ngidul. Kebiasaan tersebut di bawa sampai ke forum resmi, sehingga ketika ada seseorang yang tengah berpidato diabaikan malah lebih asyik ngobrol sendiri.
Distraksi juga datang dari gawai yang saat ini dimiliki hamper seluruh warga. Bahkan tak cukup satu, terkadang satu orang bisa memiliki gawai sampai dua dan tiga.
Meski literasi tak hanya tentang menulis dan membaca, namun Haedar menyampaikan bahwa kedua hal itu tak mudah. Kemampuan orang membaca menurut penelitian Perpusnas pada 2017, hanya 30 sampai 59 menit per hari.
“Itu sungguh tidak mudah. Menulis itu menyusun struktur berpikir kita. Berpikir aja tidak mudah, apalagi menyusun berpikir,” katanya.
Oleh karena itu, literasi untuk meningkatkan kecerdasan, membangun keadaban, dan berbudaya sehingga mampu merebut dan menjadi dasar membangun puncak peradaban tentu jauh lebih tidak mudah.
Haedar pada kesempatan ini juga mengajak kembali pada semangat yang dibawah oleh Islam yaitu ‘iqra atau membaca. Dia mengingatkan ajaran atau perintah pertama di Islam adalah membaca.
“‘Iqra itu bukan cuma membaca, tapi keseluruhan aktivitas kegiatan berpikir dalam berbagai dimensi,” katanya.
Literasi dalam Islam yang didasari ‘iqra tak semata membaca teks maupun konteks, tetapi juga ada pelibatan Allah SWT – bacalah atas nama Tuhanmu. Haedar mengistilahkan literasi dalam Islam sebagai ‘iqra yang berpayungkan langit.
Menurutnya perbedaan dasar bangunan literasi di Islam dengan yang lain adalah pelibatan Ketuhanan – tidak sekuler. Sehingga keilmuan dalam Islam tak hanya berorientasi pada kemanusiaan saja, tapi juga kepada Tuhan, dan alam tempat hidup.
Membangun keadaban publik melalui literasi ini sebagaimana dialami oleh Jazirah Arab. Dengan kunci pembuka ‘iqra, tradisi Arab yang merendahkan perempuan, menyelesaikan perkara dengan darah, dan praktik ribawi berhasil diubah.
Keadaban publik yang telah mapan di Arab pada masa kenabian itu lambat laun kemudian diekspor ke kawasan lain di antaranya seperti ke Eropa. Sehingga Islam menjadi agama yang kosmopolit.