Nabi Muhammad SAW mencontohkan ibadah kurban sebagai amalan yang konsisten dilakukan setiap tahun pada hari raya Iduladha. Hal ini menjadi teladan bagi umatnya untuk mengikuti jejak beliau. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, serta dishahihkan oleh Al-Hakim, Rasulullah SAW bersabda:
مَن كانَ لَهُ سَعةٌ ولَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلّانا
“Barang siapa yang telah mempunyai keluasan (rizki) dan tidak mau berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Hakim).
Hadis ini menegaskan betapa pentingnya ibadah kurban bagi mereka yang mampu. Bahkan, Rasulullah SAW memberikan peringatan keras kepada mereka yang enggan melaksanakan kurban meskipun memiliki kemampuan finansial.
Ungkapan “janganlah mendekati tempat shalat kami” menunjukkan bahwa kurban bukan sekadar anjuran biasa, melainkan amalan yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam, terutama bagi mereka yang telah diberi kelapangan rezeki oleh Allah SWT.
Hukum Kurban
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ibadah kurban. Jumhur ulama, termasuk mazhab Syafi’i dan Maliki, menetapkan bahwa kurban adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan tetapi tidak wajib.
Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak:
ثلاثٌ هنَّ عليَّ فرائضُ وهنَّ لكم تطوعٌ الوترُ والنحرُ وصلاةُ الضحى
“Tiga hal yang untukku fardhu dan ketiganya itu untukmu sekalian tathawwu’ (sunnah), yaitu shalat witir, menyembelih kurban, dan shalat dhuha.” (HR. Ahmad, Al-Hakim).
Meskipun hadis ini memiliki perawi yang dinilai lemah oleh An-Nasa’i dan Ad-Daruquthni, kandungannya tetap menjadi landasan bagi jumhur ulama untuk menetapkan hukum sunnah muakkadah.
Hadis ini menunjukkan bahwa kurban adalah amalan yang sangat dianjurkan, tetapi tidak diwajibkan bagi umat Islam secara umum.
Di sisi lain, mazhab Hanafiah menetapkan bahwa kurban hukumnya wajib bagi mereka yang mampu, merujuk pada hadis yang sama yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah di atas. Hadis tersebut menegaskan bahwa orang yang memiliki kelapangan rezeki namun tidak berkurban dianggap menyalahi anjuran yang kuat dari Rasulullah SAW.
Sementara itu, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kurban merupakan sunnah kifayah bagi setiap rumah tangga, sebagaimana sabda Nabi SAW:
يا أيُّها النّاسُ على كلِّ أهلِ بيتٍ فى كلِّ عامٍ أضحيَةٌ
“Wahai manusia, bagi setiap keluarga pada setiap tahun hendaknya menyembelih kurban…” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, hasan gharib).
Hadis ini menunjukkan bahwa kurban dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap keluarga setiap tahunnya, dengan status hukum yang cukup kuat sebagai sunnah kifayah. Artinya, jika salah satu anggota keluarga telah melaksanakan kurban, maka kewajiban tersebut telah gugur bagi anggota keluarga lainnya dalam satu rumah tangga.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukumnya, ibadah kurban adalah manifestasi ittiba’ kepada Rasulullah SAW yang senantiasa melaksanakannya setiap tahun.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ad-Darimi dari Wabishah bin Ma’bad, dengan sanad hasan, Rasulullah SAW bersabda:
استَفتِ قلبَك، البِرُّ: ما اطمأَنَّتْ إليه النَّفسُ، واطمأَنَّ إليه القَلبُ، والإثمُ ما حاكَ في النَّفسِ وتردَّد في الصَّدرِ، وإنْ أفتاكَ الناسُ وأفْتَوْكَ
“Mintalah fatwa hatimu, perbuatan baik (al-birru) itu apa yang dapat menentramkan hatimu, dan dosa adalah apa yang terbetik dalam diri dan berdetak dalam hatimu, sekalipun orang lain menasihatimu atau meminta nasihatmu.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi).
Hadis ini mengajak setiap Muslim untuk bermawas diri, menimbang-nimbang dalam hati apakah ia pantas untuk tidak berkurban, terutama jika Allah telah memberikan kelapangan rezeki.
Kurban adalah bagian dari al-birru (kebaikan) yang menentramkan hati, bukan hanya karena ketaatan kepada Allah, tetapi juga karena manfaatnya yang sampai kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar. Ibadah ini mengajarkan seorang Muslim untuk rela berkorban, berbagi rezeki, dan menghargai nikmat yang telah diberikan Allah.