Ketegangan antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat, telah memicu spekulasi liar di kalangan masyarakat. Isu Perang Dunia Ketiga mencuat, dan bersamaan dengan itu, muncul pula anggapan bahwa Hari Kiamat sudah di depan mata.
Di media sosial, terutama platform X, ramai beredar apa yang disebut sebagai “Rundown Hari Kiamat”. Narasi ini menggambarkan urutan peristiwa akhir zaman secara dramatis: dimulai dari Perang Dunia Ketiga, kemunculan Imam Mahdi, serangkaian perang, kehadiran Dajjal, turunnya Nabi Isa, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, munculnya Dabbah, hingga akhirnya kiamat.
Narasi ini tidak hanya memicu rasa ingin tahu, tetapi juga keresahan. Sebagian akun di X menyarankan agar masyarakat tidak terlalu larut dalam diskusi eskatologi yang berlebihan, terutama yang disertai prediksi definitif atau pernyataan sensasional seperti “Dajjal muncul tahun 2022” atau “Covid-19 adalah tanda Ya’juj dan Ma’juj”.
Ada pula yang menyikapi dengan nada sinis, seperti bertanya mengapa “rundown” ini tidak dimulai dengan “sambutan gubernur dan kepala dinas”. Namun, di tengah cemoohan, tidak sedikit pula yang mempercayai timeline tersebut, mencerminkan rasa penasaran manusia yang abadi tentang akhir zaman.
Keingintahuan tentang kiamat memang bukan hal baru. Al-Qur’an telah lama membahasnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 187:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, ‘Kapan terjadi?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (QS. Al-A’raf: 187).
Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan tentang waktu kiamat adalah hak prerogatif Allah. Tidak ada seorang pun, termasuk para nabi, rasul, malaikat, atau jin, yang mengetahuinya. Dengan demikian, segala spekulasi atau prediksi tentang waktu pasti kiamat boleh jadi bertentangan dengan ajaran Islam yang otentik.
Lalu, bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap isu ini, khususnya terkait tanda-tanda kiamat yang disebut dalam “rundown” tersebut?
Kemunculan Dajjal, Ya’juj-Ma’juj, dan Nabi Isa
Pertama, terkait tanda-tanda kiamat, Muhammadiyah hanya meyakini apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir, sesuai dengan prinsip i’tiqad yang menuntut dalil qat’i (pasti).
Misalnya, kemunculan Dabbah dan Ya’juj Ma’juj diyakini sepenuhnya karena disebutkan dalam Al-Qur’an, masing-masing pada Surah An-Naml ayat 82 dan Surah Al-Anbiya ayat 96-97, meskipun penjelasannya bersifat mujmal (umum) dan mubham (tidak rinci). Sehingga kita tidak tahu persis kapan datangnya mereka.
Adapun Dajjal, meskipun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, diterima keberadaannya berdasarkan hadis-hadis sahih yang hampir mencapai derajat mutawatir atau setidaknya bersifat masyhur.
Namun, terkait turunnya Nabi Isa AS pada akhir zaman, Muhammadiyah memiliki pandangan yang lebih hati-hati. Dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran ayat 55 berbunyi:
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا
“(Ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku…’” (QS. Ali Imran: 55).
Sebagian mufassir menafsirkan ayat ini dengan pendekatan taqdim wa ta’khir (mendahulukan dan mengemudiankan), sehingga diartikan bahwa Allah mengangkat Nabi Isa ke langit dalam keadaan hidup, baik jasad maupun ruhnya, dan kelak ia akan turun kembali pada akhir zaman untuk memerintah dengan syariat Islam sebelum akhirnya wafat. Pendapat ini didukung oleh beberapa hadis sahih, meskipun tidak sampai derajat mutawatir.
Namun, Muhammadiyah lebih condong pada pendapat kedua, yang memahami ayat ini secara harfiah tanpa memerlukan taqdim wa ta’khir. Dalam pandangan ini, kata mutawaffik (menyampaikan kepada akhir ajal) diartikan sebagai kematian fisik biasa, sedangkan rafi’uk (mengangkat) merujuk pada pengangkatan ruh dan kedudukan Nabi Isa, bukan pengangkatan fisik ke langit.
Hal ini sejalan dengan firman Allah tentang Nabi Idris dalam Surah Maryam ayat 57:
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan telah Kami angkat dia (Idris) dalam kedudukan yang tinggi (mulia).” (QS. Maryam: 57)
Pendapat ini diperkuat oleh argumen dari Tafsir Al-Manar, yang menyatakan bahwa mendahulukan kematian (tawaffa) atas pengangkatan (raf’a) tidak diperlukan, karena pengangkatan dalam konteks ini lebih menekankan pada kemenangan dan kemuliaan kedudukan, bukan pengangkatan fisik.
Singkatnya, Muhammadiyah lebih condong pada tafsir yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah diwafatkan secara fisik secara normal, dan bahwa pengangkatan (rafi’uk) yang dimaksud dalam QS Ali Imran ayat 55 di atas adalah pengangkatan ruh dan derajat, bukan jasad ke langit.
Munculnya Imam Mahdi
Isu kemunculan Imam Mahdi, yang menjadi salah satu poin dalam “Rundown Hari Kiamat”, juga terdapat dalam Fatwa Tarjih. Keyakinan akan Imam Mahdi berkembang terutama dalam kalangan Syiah Imamiyah, yang meyakini bahwa pada akhir zaman akan muncul seorang khalifah adil dari keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Mahdi, yang akan memerintah dunia Islam.
Menurut Syiah, menjelang kemunculan Mahdi, dunia dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual kasat mata (rijalul ghaib), seperti seorang Quthub (Insan Kamil), empat Autad, tujuh Abdal, dua belas Nukaba’, dan tiga ratus Nujaba’.
Muhammadiyah menolak konsep ini, memandangnya sebagai imajinasi Syiah yang tidak dapat diterima akal maupun naql (syariat). Menurut Muhammadiyah, keyakinan tentang Imam Mahdi tidak memiliki dasar dalam dalil mutawatir, sehingga tidak diyakini.
Ibnu Khaldun juga menyatakan bahwa cerita tentang Imam Mahdi bersumber dari narasi Syiah yang simpang siur dan tidak jelas. Bahkan, narasi ini kerap dimanfaatkan musuh Islam, seperti klaim Mirza Ghulam Ahmad yang menyebut dirinya sebagai nabi sekaligus Mahdi.
Beberapa hadis tentang Imam Mahdi memang ada, seperti:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّايَاتِ السُّوْدِ قَدْ جَاءَتْ من قِبَلِ خُرَاسَانَ فَأْتُوهَا فَإِنَّ فِيْهَا خَلِيْفَةُ اللهِ اْلمَهْدِيِّ
“Apabila kalian melihat panji-panji hitam datang dari Khurasan, datangilah meskipun dengan merangkak di atas es, karena di dalamnya ada khalifah Allah, al-Mahdi.” [HR. Ahmad].
Namun, hadis ini dinilai dhaif karena dalam sanadnya terdapat Ali bin Zaid, yang dianggap lemah oleh ulama kritik hadis. Hadis ini juga dimanfaatkan Dinasti Abbasiyah untuk mendukung klaim bahwa Mahdi berasal dari kelompok mereka, padahal riwayat yang lebih kuat menyebut Mahdi dari keturunan Nabi, bernama Muhammad bin Abdullah.
Meski begitu, sejumlah ulama seperti Abu Hasan al-Abiri, Imam asy-Syaukani, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qayim berpendapat bahwa hadis-hadis tentang Mahdi, meskipun mayoritas bersifat ahad, secara keseluruhan saling mendukung, baik dari sisi kandungan khusus (ciri fisik Mahdi) maupun umum (kemunculannya di akhir zaman).
Hadis-hadis ini mencapai derajat mutawatir ma’nawi, yang diterima sebagai ijmak ulama. Contohnya:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «المَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ
“Al-Mahdi berasal dari keluargaku dari anak Fatimah.” [HR. Abu Dawud].
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ ثُمَّ اتَّفَقُوا حَتَّى يَبْعَثَ رَجُلاً مِنِّي أوْ مِنْ أهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أبِيهِ اسْمَ أبِي
“Seandainya dunia hanya tinggal sehari, Allah akan memanjangkan hari itu sampai mengutus seorang laki-laki dariku, atau dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.” [HR. Abu Dawud].
Imam asy-Syaukani menyatakan bahwa hadis-hadis tentang Mahdi berjumlah sekitar 50, dengan status sahih, hasan, dan dhaif, namun secara keseluruhan mutawatir tanpa keraguan. Karenanya, Muhammadiyah berpendapat bahwa keyakinan terhadap al-Mahdi merupakan bagian dari keyakinan terhadap hal-hal ghaib adalah benar menurut hadis-hadis mutawatir ma’nawi.
Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk bersikap kritis terhadap narasi eskatologi, termasuk “Rundown Hari Kiamat”. Umat hendaknya berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih, serta mengkaji isu-isu ini dengan sumber yang jelas.
Umat Islam harus mempersiapkan diri menghadapi kiamat dengan iman, amal shalih, dan akhlak mulia, bukan dengan spekulasi waktu atau urutan peristiwa yang hanya Allah ketahui. Sebagaimana Al-Qur’an tegaskan, kiamat datang tiba-tiba, dan kesiapan hati adalah kunci, bukan kalkulasi sia-sia.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “I’tiqad (Keyakinan) Muhammadiyah Tentang Hari Kiamat dan Imam Mahdi”, Majalah Suara Muhammadiyah No. 7, 2009.