MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Dalam rangka menyambut agenda Walk for Peace and Climate Justice, Eco Bhinneka Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi publik edisi kedua bertajuk “Perjuangan Perempuan Pembela Tanah Air”.
Diskusi pada Jumát (20/6) bertujuan menggali pemahaman tentang keterkaitan perempuan dengan tanah air, tantangan berlapis yang dihadapi oleh perempuan dan penyandang difabel, serta peran strategis mereka dalam mendorong perubahan sosial.
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini yaitu Dati Fatimah (Peneliti dan Konsultan Gender) dan Nurhayati Ratna Sari Dewi (Sekretaris III Himpunan Difabel Muhammadiyah/HIDIMU Pusat), dengan Pritty Dwi Arlista dari HIDIMU sebagai moderator.
Dalam pemaparannya, Dati Fatimah mengajak peserta untuk merefleksikan semangat Iduladha, terutama dari kisah Siti Hajar, sebagai simbol perjuangan menjaga kehidupan.
“Jihad Siti Hajar adalah jihad menjaga kehidupan, dan ini relevan dengan perjuangan perempuan hari ini dalam menghadapi krisis iklim,” terangnya.
Menurut Dati, perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan tetapi juga persoalan keadilan sosial dan keberlangsungan hidup, terutama bagi kelompok rentan. Ia menyebutkan data dari World Meteorological Organization yang menunjukkan lebih dari 184.000 jiwa meninggal akibat cuaca ekstrem sepanjang 2010–2019.
Di Indonesia sendiri, bencana seperti banjir, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem menjadi peristiwa yang paling sering terjadi hingga 2024. Namun, Dati menekankan bahwa dampaknya tidak merata.
“Perempuan dan kelompok difabel menghadapi kerentanan yang jauh lebih besar,” ujarnya.
Dati juga memaparkan hasil penelitiannya tahun 2018 di Tambaklorok dan Ogan Komering Ilir, yang menunjukkan bagaimana perempuan menanggung beban berlapis dalam mengelola konsumsi pangan, air, energi, sampai keuangan keluarga di tengah krisis iklim.
Ia menegaskan pentingnya memperkuat peran anak muda, khususnya generasi Z yang semakin sadar terhadap konsumsi ramah lingkungan, untuk mendorong aktivisme iklim yang lebih adil dan partisipatif.
Sementara itu, Nurhayati Ratna Sari Dewi menyampaikan bahwa perempuan difabel kerap menghadapi diskriminasi ganda yang menghambat partisipasi mereka dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
“Perempuan difabel sering kali menghadapi tantangan berlapis karena identitas ganda mereka. Kami tidak hanya menghadapi stigma sebagai perempuan, tapi juga sebagai difabel. Ini membuat akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan ruang publik menjadi jauh lebih sempit,” ujar Nurhayati.
Kegiatan ini diikuti oleh 30 peserta dari berbagai organisasi kepemudaan lintas iman dan komunitas penyandang difabel. Sepekan setelah pertemuan ini, para peserta akan mengikuti sosialisasi cara berinteraksi dengan kelompok difabel, dan pekan berikutnya dilanjutkan dengan agenda Walk for Peace and Climate Justice.
Diskusi ini juga merupakan bagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism), sebuah inisiatif Eco Bhinneka Muhammadiyah untuk memperkuat kapasitas pemuda lintas iman dalam mengintegrasikan nilai spiritual, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.