Dalam menjalankan ibadah, umat Islam senantiasa berpijak pada dalil yang kuat. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi: yang artinya, “Pada dasarnya, setiap ibadah dianggap batal hingga ada dalil yang memerintahkannya.”
Prinsip ini menjadi landasan penting dalam menentukan tata cara ibadah, termasuk dalam permasalahan bacaan basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) saat salat, apakah dibaca secara jahr (keras) atau sir (pelan).
Dalil-Dalil tentang Bacaan Jahr
Hadis-hadis yang menyebutkan basmalah dibaca secara jahr memiliki beberapa jalur yang sahih. Salah satunya adalah riwayat dari Abu Hurairah, yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, dan Ibnu Khuzaimah. Dalam hadis tersebut disebutkan:
عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِيْ هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ “غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ” فَقَالَ آمِيْنَ فَقَالَ النَّاسُ آمِيْنَ
“Dari Nu‘aim al-Mujmir, ia berkata: “Aku salat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca: ‘Bismillahirrahmanirrahim’, kemudian ia membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah), hingga ketika sampai pada ayat: ‘Ghairil maghdhūbi ‘alaihim wa ladh-dhāllīn’, ia mengucapkan ‘Amin’, lalu orang-orang pun mengucapkan ‘Amin’…”
Selain itu, ada pula riwayat dari Ummu Salamah yang juga sahih:
عَنْ أُمُّ سَلَمَةَ أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Dari Ummu Salamah, bahwa ia ditanya tentang bacaan Rasulullah SAW, maka ia berkata: “Beliau memotong-motong bacaannya ayat demi ayat: ‘Bismillahirrahmanirrahim’, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, ‘Ar-Rahmanirrahim’…”
Dalil-Dalil tentang Bacaan Sir
Di sisi lain, terdapat hadis-hadis sahih yang mendukung bacaan basmalah secara sir. Salah satunya adalah riwayat dari ‘Aisyah:
عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنْ عَأئِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ لِلهِ
“Dari Abu al-Jauza’ dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW memulai salat dengan takbir dan membaca: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’.”
Jalur lain adalah riwayat dari Anas bin Malik, yang juga sahih:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Dari Anas, ia berkata: “Aku pernah salat bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, namun aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca: ‘Bismillahirrahmanirrahim’.”
Hadis-hadis di atas menunjukkan adanya perbedaan praktik dalam membaca basmalah, namun tidak dianggap sebagai ta’arud (pertentangan). Menurut kaidah fikih إِعْمَالُ الْكَلَامِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ (“Mengamalkan suatu pernyataan lebih utama daripada mengabaikannya”), perbedaan ini dapat diselesaikan dengan al-jam’u (kompromi).
Oleh karena itu, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa basmalah boleh dibaca jahr atau sir, sesuai dengan tanawwu’. Meski demikian, hadis-hadis tentang bacaan sir memiliki jalur yang lebih banyak, sehingga sebagian ulama cenderung memilih bacaan sir dalam salat jahr.
Dengan demikian, seorang imam yang membaca basmalah secara jahr atau sir secara bergantian tidaklah bermasalah, karena keduanya memiliki dasar yang kuat. Yang terpenting, salat harus dilakukan dengan penuh kekhusyukan, mengingat esensi ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Membaca Basmalah dan Kunut dalam Shalat”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 04 Tahun 2022.