MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR — Manhaj Tarjih berpijak pada tiga asumsi metode yaitu: asusmi integralistik, hirarkis, dan kebermaksudan. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Qaem Aulassyahied, ketiga asumsi metode ini menawarkan kerangka berpikir yang kokoh untuk menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar nilai-nilai syariat.
Dalam acara Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Batch I pada Jumat (30/05), Qaem menerangkan satu-satu dari asumsi ini.
Asumsi Integralistik
Asumsi integralistik (المسلمة التكاملية) menegaskan bahwa pemahaman terhadap ajaran agama tidak boleh terjebak dalam pendekatan atomistik, yang hanya berfokus pada dalil-dalil secara terpisah. Sebaliknya, pendekatan ini mendorong pola pikir holistik, di mana setiap ayat, hadis, dan sumber syariah lainnya dilihat sebagai bagian dari keseluruhan yang saling menguatkan.
Seperti dikutip dari Al-Muwafaqat karya Asy-Syathibi, “للإجتماع من القوة ما ليس للإفتراق” (kebersamaan memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh perpecahan). Sebuah dalil tunggal mungkin hanya memberikan dugaan (zhann), tetapi ketika dalil-dalil lain bergabung, kesimpulan yang pasti (qath’i) dapat dicapai.
Prinsip ini tercermin dalam metode istiqra ma’nawi (induksi tematis) yang diadopsi dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) jilid 3. Dalam pendekatan ini, penemuan hukum tidak bertumpu pada satu ayat atau hadis, melainkan pada sintesis menyeluruh dari berbagai sumber syariah.
Misalnya, untuk menentukan suatu hukum, para ulama tidak hanya mengacu pada satu dalil, tetapi mempertimbangkan keterkaitan antar-ayat, hadis, dan konteks syariah secara keseluruhan.
Dengan demikian, asumsi integralistik memastikan bahwa hukum yang dihasilkan tidak hanya valid, tetapi juga relevan dan kontekstual.
Asumsi Hirarkis
Asumsi hirarkis (المسلمة التراتبية) memandang norma-norma agama sebagai sebuah sistem yang berjenjang, mulai dari nilai dasar, prinsip umum, hingga ketentuan hukum konkret.
Nilai-nilai dasar seperti tauhid, kemaslahatan, dan keadilan menjadi fondasi utama (al-qiyam al-asasiyyah).
Dari sini, muncul prinsip-prinsip umum (al-usul al-kulliyyah), seperti “kesulitan mendatangkan kemudahan” (al-masyaqqah tajlib al-taisir) atau “bahaya harus dihilangkan” (al-dharar yuzal).
Pada lapisan terakhir, ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah) seperti wajib, haram, atau mubah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Aplikasi asumsi hirarkis ini tampak jelas dalam Buku Tuntunan Keluarga Sakinah. Dalam buku ini, nilai dasar seperti karamah insaniyyah (kemuliaan manusia), keadilan, dan kasih sayang menjadi landasan. Prinsip umum yang dipegang adalah bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama hamba Allah (QS. Ad-Dzariyat: 56), khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), dan memiliki potensi untuk berbuat kebaikan (QS. An-Nahl: 97).
Dari sini, hukum praktis diturunkan, misalnya dalam persoalan kepemimpinan: perempuan memiliki kesempatan menjadi pemimpin sebagai wujud kebaikan, selama tidak melalaikan kewajiban lain, dan laki-laki serta perempuan adalah mitra yang saling mendukung.
Pendekatan ini menunjukkan bagaimana asumsi hirarkis menciptakan keseimbangan antara nilai ideal dan realitas praktis.
Asumsi Kebermaksudan
Asumsi kebermaksudan (المسلمة المقاصدية) berpijak pada keyakinan bahwa setiap norma syariat memiliki tujuan mulia, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat tidak pernah diturunkan secara sembarangan; setiap hukum mengandung hikmah yang mendalam.
Dengan memahami maqasid syariah (tujuan syariat), umat Islam diajak untuk tidak hanya mematuhi hukum secara formal, tetapi juga menangkap esensi dan dampaknya bagi kehidupan.
Misalnya, dalam konteks keluarga sakinah, tujuan syariat seperti menjaga kemuliaan manusia dan memupuk kasih sayang menjadi panduan dalam merumuskan hukum-hukum praktis.
Dengan demikian, asumsi kebermaksudan memastikan bahwa setiap interpretasi hukum tidak hanya benar secara tekstual, tetapi juga selaras dengan tujuan besar syariat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan bermakna.
Metode tarjih, dengan tiga pilar asusminya, adalah cerminan kearifan Islam dalam menyikapi dinamika zaman. Asumsi integralistik mengajarkan pentingnya melihat ajaran agama secara utuh, asumsi hirarkis menawarkan struktur berpikir yang terorganisir, dan asumsi kebermaksudan mengingatkan bahwa setiap hukum memiliki tujuan mulia.
Ketiga asumsi metode ini membentuk pendekatan yang memungkinkan umat Islam untuk menjawab tantangan kontemporer dengan penuh kebijaksanaan. Seperti mozaik yang indah, metode tarjih menyusun dalil-dalil syariat menjadi sebuah panduan hidup yang relevan, bermakna, dan selaras dengan kehendak Ilahi.