Zulqa’dah merupakan bulan kesebelas dalam penanggalan Islam yang menjad salah satu dari empat bulan haram. Nama “Zulqa’dah” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “pemilik gencatan senjata”. Pada masa itu, bangsa Arab menghentikan segala bentuk peperangan, menciptakan suasana damai untuk mempersiapkan ibadah haji.
Bulan ini, bersama Syawal dan sebagian Zulhijah, termasuk dalam asyhur al-hajj (bulan-bulan haji), sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan tertentu, barang siapa yang memantapkan niatnya dalam bulan itu akan (untuk) mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada saat mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).
Menurut tafsir Ibnu Katsir, asyhur al-ma’lumat merujuk pada bulan Syawal, Zulqa’dah, dan sepuluh hari pertama Zulhijah. Dalam periode ini, umat Islam mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji.
Larangan terhadap rafats (perkataan kotor), fusuq (perbuatan dosa), dan jidal (perselisihan) menegaskan bahwa haji bukan sekadar ritual fisik, melainkan juga perjalanan batin untuk mendekat kepada Allah dengan penuh ketakwaan.
Keistimewaan Zulqa’dah tidak hanya terletak pada statusnya sebagai bulan haram dan bagian dari asyhur al-hajj, tetapi juga pada praktik Rasulullah SAW. Ibnu Rajab dalam Latha’if al-Ma’arif menyebutkan bahwa Rasulullah sering melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji, termasuk Zulqa’dah, selain umrah yang digabungkan dengan haji (haji qiran).
Menurut Ibnu Qayyim, umrah yang dilakukan pada bulan-bulan ini memiliki nilai setara dengan haji. Hal ini menunjukkan betapa mulianya waktu-waktu tersebut. Hikmah ini mengajarkan bahwa setiap ibadah yang dilakukan dengan niat tulus di waktu yang istimewa akan mendapat keutamaan berlipat di sisi Allah.
Selain itu, Zulqa’dah juga memiliki makna khusus dalam sejarah kenabian. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa masa empat puluh malam yang dijanjikan Allah kepada Nabi Musa AS untuk menerima wahyu terjadi pada bulan ini. Allah berfirman:
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), sehingga cukuplah perjanjian Tuhan itu empat puluh malam…” (QS. Al-A’raf: 142)
Tiga puluh malam tersebut jatuh pada bulan Zulqa’dah, sementara sepuluh malam tambahannya berada pada awal Zulhijah. Peristiwa ini menegaskan bahwa Zulqa’dah adalah waktu yang dipilih Allah untuk mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya melalui ibadah dan muhasabah.
Zulqa’dah mengajak kita untuk merenungi makna kesucian dan kedamaian. Sebagai bulan haram, ia mengingatkan kita untuk menjaga diri dari dosa dan konflik. Sebagai bagian dari asyhur al-hajj, ia menjadi momen untuk mempersiapkan jiwa menyambut ibadah haji atau umrah dengan penuh keikhlasan.
Dan sebagai waktu yang dipilih untuk peristiwa kenabian, Zulqa’dah mengajarkan bahwa setiap detiknya adalah kesempatan untuk mendekat kepada Allah. Marilah kita jadikan bulan ini sebagai ladang untuk menanam kebaikan, memanen takwa, dan meraih ridha Ilahi.