Di tengah kemajuan teknologi yang menawarkan kesenangan instan di ujung jari, kita dihadapkan pada paradoks: sumber kebahagiaan yang tak terbatas justru sering kali membawa dampak buruk bagi kesehatan mental.
Data menunjukkan bahwa tingkat depresi, kecemasan, kesepian, bahkan bunuh diri meningkat di kalangan generasi muda. Salah satu pemicu utama yang kini menjadi sorotan adalah media sosial, yang tidak hanya mengubah perilaku, tetapi juga “membajak” otak melalui pelepasan dopamin yang tidak terkendali.
Bagaimana fenomena ini terjadi, dan apa yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan keseimbangan hidup?
Mengenal Dopamin
Dopamin adalah neurotransmitter yang bertugas menyampaikan sinyal kebahagiaan di otak. Ketika seseorang menerima ganjaran—seperti pujian, kemenangan, atau kenikmatan—dopamin dilepaskan, menciptakan perasaan bahagia dan motivasi untuk mengulangi aktivitas tersebut.
Secara alamiah, dopamin diproduksi saat kita melakukan aktivitas yang bermanfaat, seperti berolahraga, mencapai suatu tujuan, atau menjalin hubungan sosial. Namun, di era digital, dopamin juga dipicu oleh aktivitas negatif seperti scrolling media sosial, bermain game tanpa batas, atau konsumsi konten yang merusak pikiran.
Penelitian menunjukkan bahwa 95% remaja menggunakan media sosial, dengan lebih dari sepertiga di antaranya mengaksesnya secara konstan. Rata-rata, mereka menghabiskan tiga setengah jam sehari di aplikasi tersebut. Hal ini meningkatkan risiko gejala depresi dan kecemasan.
Ketika seseorang terus-menerus mencari kesenangan instan melalui notifikasi atau like, otak mengalami lonjakan dopamin yang cepat. Namun, setelah puncak kenikmatan itu reda, kadar dopamin turun drastis di bawah level normal, menciptakan defisit yang memicu kecemasan, kurangnya motivasi, hingga perilaku adiktif.
Allah SWT mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, sebagaimana firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu sebagai umat yang pertengahan (seimbang) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Keseimbangan adalah prinsip utama dalam Islam. Ketergantungan pada kesenangan instan, seperti yang ditawarkan media sosial, dapat mengganggu keseimbangan ini, menjauhkan kita dari tujuan hidup yang lebih bermakna.
Dopamin yang stabil memberikan banyak manfaat, seperti suasana hati yang baik, kemampuan mengelola stres, serta motivasi untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, ketidakseimbangan dopamin, baik kelebihan maupun kekurangan, dapat menyebabkan gangguan mood, kurangnya produktivitas, insomnia, hingga kecanduan.
Pemicu dopamin positif, seperti olahraga, makan sehat, atau interaksi sosial, membantu menjaga stabilitas otak. Namun, pemicu negatif seperti alkohol, judi, atau scrolling media sosial cenderung menciptakan adiksi karena menawarkan kesenangan cepat dengan usaha minimal (less effort, high reward).
Perbandingan antara pemicu positif dan negatif terlihat jelas pada kurva pelepasan dopamin. Pemicu positif menghasilkan kenaikan dopamin yang sehat, diikuti oleh penurunan yang stabil ke level normal, memungkinkan kita menikmati kebahagiaan dari hal-hal sederhana.
Sebaliknya, pemicu negatif menyebabkan lonjakan dopamin yang curam, diikuti oleh penurunan drastis di bawah level normal. Kondisi ini menciptakan siklus vicious loop, di mana seseorang terus mengejar puncak dopamin berikutnya, sering kali tanpa sadar telah kehilangan kendali.
Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya menjaga akal dan tubuh dari kerusakan. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat kemadharatan dan tidak boleh pula membalas kemadharatan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Kecanduan pada pemicu dopamin negatif, seperti media sosial, dapat dianggap sebagai bentuk kemadharatan bagi diri sendiri, karena mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Puasa Dopamin: Sebuah Solusi
Untuk mengatasi dampak buruk ketidakseimbangan dopamin, konsep “puasa dopamin” atau dopamine detox menjadi solusi yang kini populer. Puasa dopamin bukan berarti menghindari semua sumber kebahagiaan, melainkan menggantikan pemicu dopamin negatif dengan yang positif. Tujuannya adalah menstabilkan kadar dopamin di otak, sehingga kita dapat lebih menghargai hal-hal sederhana, meningkatkan fokus, dan membangun motivasi jangka panjang.
Protokol puasa dopamin meliputi menghindari junk food, media sosial, video game, minuman berenergi, dan kebiasaan buruk lainnya, sambil menggantinya dengan aktivitas positif seperti olahraga, makan makanan bergizi, dan menjalin hubungan sosial. Menurut para ahli, puasa dopamin selama 14 hingga 30 hari dapat memberikan hasil signifikan. Namun, bagi pemula, mencoba selama satu hari sudah merupakan langkah awal yang berarti.
Seorang YouTuber yang mencoba puasa dopamin selama sehari berbagi pengalamannya: ia menghapus aplikasi media sosial dari ponselnya (kecuali WhatsApp untuk keperluan kerja), menyusun daftar kegiatan produktif seperti olahraga, memasak, dan menyelesaikan tugas, serta menjauhkan ponsel dari jangkauan saat bekerja.
Hasilnya, ia merasa lebih fokus, produktif, dan merasakan kebahagiaan dari menyelesaikan tugas tanpa distraksi notifikasi. Pengalaman ini menunjukkan bahwa puasa dopamin tidak hanya tentang membatasi kesenangan, tetapi juga melatih kendali diri dan membangun kebiasaan yang lebih sehat.
Islam mengajarkan pentingnya menahan diri dari hawa nafsu yang berlebihan. Allah SWT berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
“Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya…” (QS. An-Naziat [79]: 40).
Puasa dopamin dapat dilihat sebagai bentuk modern dari menahan hawa nafsu, membantu kita mengarahkan energi pada aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kualitas hidup.
Tantangan dan Harapan
Puasa dopamin bukanlah solusi instan, tetapi sebuah proses yang membutuhkan kesadaran dan kemauan. Tantangan terbesar adalah melawan kebiasaan lama, seperti keinginan untuk memeriksa ponsel setiap beberapa menit.
Namun, dengan pendekatan bertahap—mulai dari satu hari hingga mungkin dua minggu—kita dapat membangun kebiasaan yang lebih sehat. Komunitas daring juga dapat menjadi tempat berbagi tips dan pengalaman, seperti menghindari scrolling sebelum tidur atau mengganti waktu layar dengan membaca buku.
Sebagai penutup, marilah kita merenungi firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Mengendalikan dopamin adalah langkah kecil menuju perubahan besar. Dengan kesadaran, kemauan, dan bimbingan syariat, kita dapat melawan jebakan kesenangan instan dan membangun kehidupan yang lebih bermakna. Mari kita mulai dari satu hari, dan siapa tahu, itu bisa menjadi awal dari transformasi yang lebih besar.