MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Asep Sholahuddin, menyoroti peran penting panitia kurban dan dimensi sosial ibadah kurban dalam pengajian Malam Selasa di Madrasah Muallimin Muhammadiyah pada Senin (12/05).
Dalam pemaparannya, Asep menekankan bahwa kurban bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga sarana memperkuat solidaritas sosial dan memastikan pelaksanaan yang tertib melalui kepanitiaan.
Asep memaparkan ketentuan kurban berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis. Ia menjelaskan bahwa satu ekor kambing hanya untuk satu orang, sementara sapi atau kerbau dapat untuk maksimal tujuh orang, dan unta untuk tujuh hingga sepuluh orang.
“Jika harga sapi Rp21 juta, tujuh orang boleh patungan, tapi kalau hanya empat orang, itu juga diperbolehkan asal sesuai kemampuan,” ujarnya, merujuk hadis riwayat Imam Muslim.
Ia menegaskan bahwa panitia kurban berperan penting untuk memastikan pembelian hewan dan pembagian daging dilakukan sesuai syariat, menghindari tumpang tindih atau ketidaktertiban.
Pembagian daging kurban, menurut Asep, mencerminkan nilai sosial ibadah ini. Berdasarkan Surah Al-Hajj ayat 28 dan 36 serta hadis riwayat Imam Muslim, daging kurban harus dibagikan kepada sohibul kurban, fakir, miskin, al-qani (yang tidak meminta), dan al-muktar (yang meminta).
“Kurban tidak memandang agama. Tetangga non-Muslim pun boleh menerima daging kurban,” katanya, menekankan sifat inklusif ibadah ini. Ia juga mengapresiasi inovasi seperti kornetisasi kurban di Jawa Tengah, yang mengolah daging menjadi kornet agar lebih tahan lama dan bermanfaat.
Asep menegaskan peran panitia kurban sebagai pembantu sohibul kurban, merujuk pada hadis riwayat Bukhari di mana Nabi Muhammad SAW meminta Ali bin Abi Thalib membantu pelaksanaan kurban.
“Ali diminta membagikan seluruh bagian hewan kurban, termasuk daging dan kulit. Panitia harus mengikuti teladan ini, memastikan semua bagian dibagikan tanpa terkecuali,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan dua larangan: panitia tidak boleh menjual bagian hewan kurban atau memberikan bagiannya sebagai upah penyembelihan. “Biaya operasional harus dari dana terpisah, bukan dari hewan kurban,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar panitia menghindari kecurigaan atau ketidakjelasan dalam pembagian, seperti “kepala hilang” atau “kaki tidak dibagikan.” “Panitia harus transparan. Jika sapi untuk tujuh orang, kaki dan kepala harus didata siapa yang mengambil,” katanya, menekankan pentingnya tertib administrasi.
Panitia, menurut Asep, tidak mendapat bagian khusus sebagai panitia, tetapi boleh menerima daging sebagai fakir, miskin, al-qani, atau al-muktar, sesuai kriteria penerima.
Terkait Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jumat, Asep menyinggung fatwa Majelis Tarjih bahwa salat Jumat tetap wajib dilaksanakan kecuali bagi yang kesulitan karena jarak atau kondisi tertentu.
“Masjid jangan ditutup setelah salat Id. Panitia kurban harus bermusyawarah agar penyembelihan tidak mengganggu salat Jumat, misalnya dengan menggeser ke hari Sabtu,” sarannya.