Salah satu aspek penting yang sering luput dari perhatian adalah pengaturan jarak kelahiran anak. Jarak kelahiran yang ideal merupakan ikhtiar untuk memastikan anak-anak tumbuh sehat, beriman, dan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua.
Dalam pandangan Islam, pengaturan jarak kelahiran bukanlah hal yang bertentangan dengan syariat, melainkan sebuah bentuk tanggung jawab moral dan spiritual yang selaras dengan firman Allah SWT.
Al-Qur’an memberikan petunjuk yang jelas mengenai pentingnya memerhatikan kesejahteraan anak. Dalam Surah an-Nisa ayat 9, Allah berfirman:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ayat ini mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk memastikan anak-anak tidak ditinggalkan dalam keadaan lemah, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menghambat perhatian ibu kepada anak yang lebih tua, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya.
Oleh karena itu, mengatur jarak kelahiran menjadi salah satu wujud ketaatan kepada perintah Allah untuk menjaga amanah keturunan. Al-Qur’an dalam Surah al-Ahqaf ayat 15 menyebutkan:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“Dan Kami telah perintahkan manusia agar berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dengan derita dan melahirkan dengan derita, lama mengandungnya dan melepaskannya dari susuan adalah tiga puluh bulan”.
Ayat ini menegaskan bahwa masa kehamilan dan penyusuan, yang berlangsung sekitar 30 bulan, adalah periode penuh pengorbanan bagi seorang ibu. Pengorbanan ini tidak hanya menuntut ketahanan fisik, tetapi juga kesiapan emosional dan spiritual.
Dengan demikian, memberikan jeda yang cukup sebelum kehamilan berikutnya adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan seorang ibu, sekaligus memastikan anak yang telah lahir mendapatkan perhatian penuh selama masa-masa krusial pertumbuhannya.
Surah al-Baqarah ayat 233 juga memperkuat panduan ini:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Dan para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi orang yang menginginkan menyempurnakan penyusuan”.
Ayat ini menunjukkan bahwa penyusuan selama dua tahun adalah waktu yang ideal untuk memastikan anak mendapatkan asupan gizi dan kasih sayang yang optimal. Jika kehamilan berikutnya terjadi terlalu cepat, ibu akan menghadapi beban ganda yang dapat mengurangi kualitas perawatan terhadap anak yang sedang disusui.
Dengan demikian, jarak kelahiran yang ideal, yaitu sekitar dua hingga tiga tahun, menjadi sebuah kebijaksanaan yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.
Pengaturan jarak kelahiran juga mendapatkan legitimasi dari keputusan tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 di Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut, keluarga berencana dibolehkan dalam kondisi darurat dengan syarat adanya persetujuan suami-istri dan tidak menimbulkan mudarat, baik secara jasmani maupun rohani.
Kriteria darurat mencakup kekhawatiran akan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu, sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 195:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.
Selain itu, Surah an-Nisa ayat 29 juga menegaskan:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Kekhawatiran akan kesehatan atau pendidikan anak akibat jarak kelahiran yang terlalu rapat juga menjadi alasan yang dibenarkan, sejalan dengan sabda Nabi SAW:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Jangan bahayakan [dirimu] dan jangan membahayakan [orang lain]” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam praktiknya, pengaturan jarak kelahiran memerlukan pengetahuan yang memadai tentang metode keluarga berencana, mulai dari yang sederhana hingga penggunaan alat kontrasepsi yang sesuai dengan syariat.
Konsultasi dengan ahli kesehatan dan ahli agama menjadi langkah penting untuk memastikan keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan kebutuhan duniawi, tetapi juga selaras dengan kehendak Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Baqarah ayat 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
Demikian pula dalam Surah al-Ma’idah ayat 6:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu”.
Pada akhirnya, mengatur jarak kelahiran adalah wujud kasih sayang kepada anak, penghormatan kepada ibu, dan ketaatan kepada Allah. Ini adalah harmoni antara tanggung jawab sebagai hamba dan kasih sayang sebagai orang tua. Semoga setiap langkah yang kita ambil senantiasa berada dalam lindungan dan rida-Nya.
Referensi:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 08/2010-2015/Syawal 1436 H/Agustus 2015 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2015.