Haji merupakan ibadah dengan perjalanan lahir dan batin yang menuntut kesucian niat. Niat adalah kehendak hati yang ditekadkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, yang kemudian dibuktikan melalui perbuatan. Dalam konteks haji, tanpa niat yang tulus, ibadah haji bisa kehilangan maknanya.
Niat haji atau umrah memiliki keterkaitan erat dengan ihram, yaitu kondisi suci yang menandai dimulainya ibadah.
Ihram dimulai dengan niat ikhlas di dalam hati, diucapkan di tempat-tempat miqat yang telah ditentukan, dan diiringi dengan lafal talbiyah:
لَبَّيْكَ (aku memenuhi panggilan-Mu), atau
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجَّا (aku memenuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji).
Lafal ini merupakan pernyataan kesiapan seorang hamba untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Landasan niat dalam ibadah ini merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an, Surah al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus…”
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah harus dilakukan dengan keikhlasan, tanpa campur aduk motif duniawi. Niat yang murni menjadi kunci diterimanya sebuah amalan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu (harus dilakukan) dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang diniatkan…” (H.R. al-Bukhāri).
Hadis ini menjadi pedoman bahwa nilai sebuah ibadah bergantung pada niat di baliknya. Seseorang yang menunaikan haji dengan niat mencari pujian atau status sosial, misalnya, tidak akan menuai pahala sebagaimana yang diniatkan untuk Allah semata.
Lebih lanjut, cara Rasulullah Saw melaksanakan niat haji dan umrah menjadi teladan bagi umat Islam. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas r.a., Rasulullah Saw membaca talbiyah untuk ihram haji dan umrah secara bersamaan:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ بِهِمَا جَمِيعًا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجَّا
“Saya mendengar Rasulullah Saw membaca talbiyah untuk berihram haji dan umrah bersama-sama dengan لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجَّا” (H.R. al-Bukhāri dan Muslim).
Talbiyah ini pengakuan seorang hamba atas kebesaran Allah, sekaligus pengingat bahwa haji adalah panggilan suci yang harus dijawab dengan hati yang bersih.
Dalam praktiknya, niat haji mengajarkan kita tentang pentingnya keselarasan antara hati, lisan, dan perbuatan. Ketika seorang jemaah berdiri di miqat, mengenakan kain ihram, dan melafalkan talbiyah, ia sedang mengikat janji dengan Allah untuk meninggalkan duniawi demi mengejar keridaan-Nya. Niat ini menjadi fondasi yang menjaga setiap rukun haji—dari thawaf hingga sai—tetap bernilai ibadah.
Referensi:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Tuntunan Manasik Haji”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXVIII, 2015.