MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Masjid Islam Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pada Ahad (18/05) kembali menggelar Kajian Ahad Pagi. Dalam kesempatan tersebut, Andi Suseno, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DI Yogyakarta menjadi penceramah.
Andi Suseno memulai ceramahnya dengan menggambarkan marah sebagai kondisi emosional yang alami dan dialami oleh setiap orang. “Hampir tidak ada di ruangan ini yang tidak pernah marah,” ujarnya, disambut tawa jemaah.
Ia menjelaskan bahwa marah bisa dipicu oleh faktor eksternal seperti kekecewaan, ketidakadilan, atau ancaman, tetapi juga bisa muncul dari dalam diri, seperti perubahan emosi akibat siklus biologis atau faktor genetik. Namun, sebagai umat Islam, marah tidak boleh dibiarkan menguasai diri, melainkan harus dikelola dengan bijak sesuai ajaran Rasulullah Saw.
Menariknya, Andi mengungkap bahwa Rasulullah Saw juga pernah marah, namun amarahnya selalu terkendali dan hanya muncul terkait kehormatan Allah atau pelanggaran agama.
Ia merujuk pada beberapa riwayat hadis, seperti ketika Rasulullah menegur Mu’adz bin Jabal yang membaca surah terlalu panjang saat mengimami salat, sehingga memberatkan jemaah.
“Nabi bertanya, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu ingin menjadikan agama ini sebagai fitnah?’” ujar Andi, seraya menekankan pentingnya mempertimbangkan kondisi jemaah dalam beribadah.
Rasulullah Saw, lanjut Andi, memberikan teladan melalui sabdanya: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ (“Saya manusia biasa, saya marah sebagaimana manusia lainnya marah,” H.R. Ahmad). Namun, amarah Nabi selalu terarah pada kebaikan, bukan urusan pribadi.
Dalam hadis lain, Nabi menasihati, لَا تَغْضَبْ (“Janganlah kamu marah”), bahkan mengulanginya hingga tiga kali kepada seorang sahabat yang meminta nasihat. Dalam riwayat lain, Nabi bersabda, لَا تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ (“Janganlah kamu marah, maka bagimu surga,” H.R. Ahmad).
Andi menegaskan bahwa mengendalikan marah tidak hanya menghantarkan seseorang menuju surga di akhirat, tetapi juga menciptakan “surga” di dunia, seperti keharmonisan dalam rumah tangga dan lingkungan sosial.
Untuk mengelola marah, Andi menyampaikan empat langkah praktis berdasarkan hadis. Pertama, diam saat marah, sebagaimana sabda Nabi: إِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ (“Jika kamu marah, diamlah”).
Kedua, memohon perlindungan kepada Allah dengan mengucap أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ untuk menangkal godaan setan, karena marah berasal dari setan yang diciptakan dari api (إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ).
Ketiga, berwudu untuk memadamkan “api” amarah, sebagaimana sabda Nabi: فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ (“Jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah berwudu”).
Keempat, mengatur posisi tubuh: jika marah saat berdiri, duduklah; jika masih marah, berbaringlah (إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ فَلْيَضْطَجِعْ).
Lebih lanjut, Andi menekankan bahwa kemampuan mengendalikan marah berpangkal pada takwa. Mengutip Surah Ali Imran ayat 133-134, ia menyebutkan bahwa orang bertakwa adalah mereka yang كَاظِمِينَ الْغَيْظَ (menahan amarah) dan وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ (mudah memaafkan).
Untuk mencapai derajat takwa, ia menawarkan tiga cara: memperbanyak ibadah dengan penuh tafakur, membaca Al-Qur’an dengan pemahaman, dan berpuasa untuk melatih pengendalian diri. “Salat yang khusyuk harus membawa masalah kita kepada Allah, bukan sekadar ritual,” tegasnya.
Dengan canda, Andi juga mengingatkan jemaah agar tidak menyimpan amarah lebih dari tiga hari, sebagaimana ajaran Nabi.
Ia mengakhiri ceramahnya dengan pesan bahwa mengendalikan marah bukan hanya soal menahan emosi, tetapi juga menciptakan kedamaian dalam kehidupan. “Rumah yang penuh amarah bagaikan neraka, tetapi rumah yang dikelola dengan kesabaran adalah surga dunia,” pungkasnya.