MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sopa, menyampaikan panduan dan kebijakan terkait pelaksanaan ibadah haji 2025 dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (14/5).
Dalam paparannya, ia menyoroti besarnya animo masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji, tantangan kepadatan di Muzdalifah dan Mina, serta solusi syar’i berupa kebijakan murur untuk jemaah lansia dan berisiko tinggi.
Menurut Sopa, musim haji 2025 diperkirakan berlangsung dari Mei hingga Juli, dengan rata-rata durasi perjalanan jemaah sekitar satu bulan lebih. Namun, jemaah ONH Plus biasanya memiliki durasi lebih singkat karena datang terakhir dan pulang lebih cepat.
Dengan kuota haji Indonesia sekitar 220.000–221.000 jemaah berdasarkan ketetapan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yakni satu jemaah per 1.000 penduduk muslim, animo pendaftar terus meningkat setiap tahun.
Namun, tantangan muncul karena sekitar 21% jemaah atau sekitar 45.000 orang termasuk dalam kategori lanjut usia (lansia) yang berisiko tinggi (risti). “Jemaah lansia ini biasanya diberi gelang khusus oleh tenaga kesehatan untuk menandakan risiko kesehatan mereka,” ujar Sopa.
Kepadatan di Mina juga menjadi masalah serius karena kapasitasnya berkurang setelah Mina Jadid (perluasan Mina) yang mampu menampung 27.000 jemaah tidak lagi digunakan sejak 2023. Kini, ruang di Mina hanya sekitar 0,87 meter persegi per jemaah, jauh dari ideal.
Kondisi ini diperparah oleh cuaca panas di Arab Saudi yang sering melebihi 30 derajat Celsius, serta kepadatan yang meningkatkan risiko penyakit menular.
“Pengalaman tahun 2023 menunjukkan banyak jemaah terlambat tiba di Mina dari Muzdalifah hingga siang hari, padahal mabit seharusnya dilakukan malam hari,” ungkap Sopa, merujuk pada kendala transportasi akibat jumlah jemaah yang besar.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Agama menerapkan dua kebijakan utama: murur dan tanazul, serta edukasi tentang fikih taisir (kemudahan) dalam buku Manasik Haji.
Kebijakan murur memungkinkan jemaah lansia, difabel, dan pendamping mereka untuk hanya melewati Muzdalifah tanpa bermalam, langsung menuju Mina pada 9 Zulhijah pukul 19.00–22.00 waktu Arab Saudi. Kebijakan ini didasarkan pada kaidah syariat yang memperbolehkan kemudahan bagi yang memiliki uzur.
Sopa menegaskan bahwa kebijakan murur ini sesuai dengan syariat Islam, sebagaimana fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berdasarkan muzakarah haji 2024. Ia merujuk pada dua dalil utama:
Hadis Jabir (HR Muslim):
عَنْ جَابِرٍ…حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ، فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ، وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا، ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، وَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ …[رواه مسلم]
Hadis ini menjelaskan praktik Rasulullah SAW yang bermalam di Muzdalifah, melakukan salat Magrib dan Isya secara jama’ ta’khir dan qasar, lalu beristirahat hingga fajar. Ini menjadi pedoman utama pelaksanaan mabit.
Hadis Aisyah (HR al-Bukhari):
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ… [رواه البخاري]
Hadis ini memperbolehkan murur bagi jemaah dengan uzur, seperti Saudah yang mendapat izin Rasulullah untuk berangkat ke Mina sebelum rombongan karena kondisi fisiknya.
Sopa menjelaskan, kaidah fikih إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ (jika hukum asal sulit dilaksanakan, boleh beralih ke hukum pengganti) menjadi dasar kebolehan murur sebagai pengganti mabit. Jemaah yang melakukan murur tidak dikenakan dam karena tetap dianggap melaksanakan rangkaian haji secara lengkap.
Selain itu, kaidah usul fikih حِكَايَةُ الْحَالِ اِذَا تَرَكَ فِيهَا الْاِسْتِفْصَالُ تَقُومُ مَقَامَ الْعُمُوْمِ فِي الْمَقَالِ menegaskan bahwa murur dapat dilakukan kapan saja pada malam 10 Zulhijah tanpa batasan waktu spesifik.
“Jemaah diharapkan tidak hanya mengejar afdal (kesempurnaan ibadah), tetapi juga memperhatikan keselamatan dengan memanfaatkan rukhsah seperti murur ini,” tegas Sopa.