MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam khutbah Jumat di Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Mahli Zainuddin Tago menguraikan hubungan antara keyakinan agama, khususnya iman kepada takdir, dengan tindakan sosial dan kehidupan manusia.
Mengawali khutbahnya, Mahli menyinggung pendekatan sosiologi Weberian yang menunjukkan bahwa keyakinan agama dapat memengaruhi tindakan sosial, termasuk dalam ranah ekonomi. Ia mencontohkan bagaimana ajaran Calvinisme mendorong perkembangan kapitalisme modern di dunia Barat karena keyakinan tentang takdir dan kehendak Tuhan.
Fokus khutbah adalah konsep takdir dalam Islam. Mahli menjelaskan tiga istilah terkait: qada (ketetapan atau kehendak Allah terhadap segala sesuatu), qadar (ukuran atau ketentuan Allah, termasuk ilmu-Nya tentang masa depan makhluk), dan takdir (ketentuan Allah yang mengikat sebab-akibat atas peristiwa yang telah terjadi).
“Takdir baru bisa disebut ketika sesuatu telah terjadi, seperti yang kita sebut nasib,” ujarnya.
Ia memaparkan tiga pandangan teologis tentang takdir. Pertama, aliran fatalisme atau Jabariah, yang memandang manusia sebagai “wayang” yang sepenuhnya ditentukan oleh kehendak Tuhan, sehingga tidak ada kebebasan atau tanggung jawab.
Kedua, aliran Qadariah yang menekankan kebebasan manusia (free will), menganggap kehendak Tuhan terbatas oleh pilihan manusia.
Ketiga, paham tengah atau determinisme, yang menyeimbangkan keduanya: manusia adalah musayyar (terikat ketentuan Allah) sekaligus mukhayyar (memiliki kebebasan memilih).
“Manusia bisa berikhtiar, dan karena itu dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya, seperti menjalankan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya,” tegas Mahli.
Mahli menegaskan bahwa iman kepada takdir melahirkan hikmah, seperti kesadaran akan sunnatullah (hukum alam Allah) yang mendorong manusia mempelajari ilmu untuk sukses di dunia dan akhirat, serta sikap tawakal yang harus diawali dengan ikhtiar maksimal.
Ia mengutip kisah Nabi SAW yang memerintahkan seorang Badui untuk mengikat untanya sebelum bertawakal, dengan sabda: “Iqilha wa tawakkal” (Ikat untamu, lalu bertawakal). “Takdir adalah hasil dari qada (rencana Allah) ditambah ikhtiar dan doa,” ungkapnya.
Sebagai ilustrasi, Mahli berbagi pengalaman pribadinya yang ditugaskan menjadi rektor di sebuah institusi tanpa kampus dan dana. Dengan ikhtiar dan tawakal, ia menyaksikan pertolongan Allah datang secara tak terduga: tawaran rumah dan mobil dinas, hingga wakaf tanah seluas 2 hektar senilai Rp40 miliar dan kebun kopi 20 hektar dari seorang dermawan.
“Ini bukti bahwa ikhtiar, doa, dan tawakal melahirkan takdir yang membawa kebaikan,” ujarnya penuh syukur.
Di khutbah kedua, Mahli mengajak jemaah meningkatkan ketakwaan dan meyakini takdir dengan benar untuk hidup lebih tenang dan bertanggung jawab. “Apapun yang terjadi, jika nikmat kita bersyukur, jika ujian kita bersabar,” pesannya.
Ia menutup dengan doa agar jemaah senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga meninggal dalam keadaan bertakwa. “Barakallahu li wa lakum bil Qur’anil karim,” tutup Mahli, diiringi doa bersama jemaah.