MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR — Dalam Islam, penentuan waktu ibadah seperti salat dan arah kiblat telah lama menggunakan metode hisab tanpa banyak perdebatan. Para ulama dan fukaha sepakat bahwa perhitungan matematis ini dapat diandalkan untuk menentukan waktu-waktu salat maupun arah kiblat dengan presisi.
Menurut Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan Ambo Asse dalam Pelatihan Kader Tarjih Nasional Batch I di Makassar pada Jumat (30/05) mengatakan bahwa ketika berbicara tentang penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal, pandangan mereka terbelah.
Perdebatan ini berpusat pada dua pendekatan utama dalam hisab untuk menetapkan awal bulan kamariah: hisab urfi dan hisab hakiki. Keduanya menawarkan cara pandang berbeda dalam memahami pergerakan bulan.
Hisab urfi adalah metode perhitungan awal bulan kamariah yang tidak berpatokan pada gerak faktual bulan di langit. Sebaliknya, metode ini mengandalkan rata-rata pergerakan bulan dengan pola sederhana: mendistribusikan jumlah hari secara bergantian antara bulan ganjil dan genap dengan aturan tertentu.
Misalnya, bulan Ramadan, yang merupakan bulan ke-9 (ganjil), ditetapkan berdurasi 30 hari dalam hisab urfi. Namun, kenyataannya, berdasarkan pengamatan langsung bulan di langit, Ramadan bisa saja hanya berlangsung 29 hari.
Akibatnya, hisab urfi sering kali tidak selaras dengan kemunculan hilal. Awal bulan dalam hisab urfi bisa mendahului, bersamaan, atau bahkan tertinggal dari kemunculan bulan di langit.
Berbeda dengan hisab urfi, hisab hakiki berfokus pada gerak faktual bulan di langit. Metode ini menghitung posisi dan perjalanan bulan secara presisi untuk menentukan awal dan akhir bulan kamariah. Namun, kompleksitas muncul karena terdapat berbagai kriteria dalam hisab hakiki untuk menetapkan kapan bulan baru dimulai.
Tiga kriteria utama yang sering digunakan adalah:
Pertama, ijtimak sebelum fajar (al-ijtimā’ qabla al-fajr): Kriteria ini digunakan oleh mereka yang memandang hari dimulai sejak fajar. Jika konjungsi bulan dan matahari (ijtimak) terjadi sebelum fajar di suatu wilayah, maka fajar itu menandai awal bulan baru. Sebaliknya, jika ijtimak terjadi setelah fajar, hari itu dianggap sebagai hari ke-30 bulan berjalan, dan bulan baru dimulai pada fajar berikutnya.
Kedua, ijtimak sebelum gurub (al-ijtimā’ qabla al-gurūb): Dalam kriteria ini, hari dimulai sejak matahari terbenam. Jika ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan hari berikutnya dianggap sebagai awal bulan baru. Namun, jika ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu masih dianggap bagian dari bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa. Kriteria ini tidak mempertimbangkan posisi bulan relatif terhadap ufuk.
Ketiga, imkan rukyat (visibilitas hilal): Kriteria ini mensyaratkan bahwa bulan baru dimulai jika, pada sore hari ke-29 bulan kamariah, bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian yang memungkinkan untuk dilihat dengan mata telanjang. Namun, para ahli tidak sepakat tentang ketinggian minimum bulan yang dianggap memadai, sehingga kriteria ini sering kali dianggap kurang pasti.
Pada tahun 1447 H, Ambo Asse mengatakan bahwa Muhammadiyah akan mengambil langkah progresif dengan mengadopsi kriteria imkan rukyat dalam kerangka Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Dalam pendekatan ini, hilal dianggap dapat dilihat jika memenuhi kriteria minimal: ketinggian hilal 5 derajat dan elongasi 8 derajat di mana pun di muka bumi.
Pendekatan ini mencerminkan visi global yang memandang bumi sebagai satu matlak (titik acuan). Konsekuensinya ialah mengesampingkan perbedaan wilayah dalam penentuan awal bulan.
“Langkah ini menunjukkan upaya untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam satu kalender, sekaligus mengintegrasikan kemajuan ilmu astronomi dengan tradisi keagamaan,” kata Ambo Asse.