MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015-2022 Waharjani menguraikan hikmah dari Surah Luqman ayat 34. Kajian ini mengajak jemaah untuk merenungi keterbatasan manusia dan pentingnya ikhtiar dalam menyikapi rahasia ilahi.
Ceramah yang disampaikan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Ahad (04/05), Waharjani memulai ceramahnya dengan menceritakan sebuah peristiwa di masa Rasulullah SAW.
Seorang sahabat yang datang dari jauh dengan penuh antusias akhirnya mendapat kesempatan menghadap Nabi. Setelah dipersilakan duduk dengan isyarat tangan penuh kelembutan dari Rasulullah, sahabat itu langsung mengajukan lima pertanyaan berat:
“Ya Rasulullah, kapan datangnya hari kiamat? Di kampung kami tanah sudah pecah-pecah karena kemarau panjang, kapan hujan turun? Istri saya yang hamil tua, apakah bayinya laki-laki atau perempuan? Apa yang saya kerjakan besok? Dan, saya tahu siapa yang melahirkan saya, tapi di mana saya akan mati dan dikuburkan?”
Rasulullah, mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut, terdiam sejenak. Saat itulah, malaikat Jibril datang membawa wahyu yang kemudian termaktub dalam Surah Luqman ayat 34:
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Waharjani menjelaskan bahwa pertanyaan pertama tentang hari kiamat dijawab langsung dengan pernyataan bahwa hanya Allah yang mengetahui waktunya: إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ. Ia mengisahkan pula dialog lain antara Rasulullah dan Jibril, di mana Nabi menggambarkan kedekatan masa kenabian dengan hari kiamat seperti dua jari yang berdekatan.
“Kiamat ada dua: kiamat kubra, yaitu hancurnya alam semesta, dan kiamat sugra, yaitu kematian setiap makhluk,” ujarnya.
Ia memperingatkan jemaah agar tidak terjebak pada prediksi kiamat yang keliru, seperti yang pernah terjadi di Malaysia pada 28 Februari 2005, ketika seseorang memprediksi kiamat hingga menyebabkan kepanikan dan kerugian triliunan rupiah.
“Yang tahu hanya Allah. Kiamat sugra, seperti kematian, memang dekat dan harus kita siapkan dengan husnul khatimah,” tegasnya.
Pada pertanyaan kedua tentang hujan, Waharjani mengutip وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ, menegaskan bahwa hanya Allah yang menentukan turunnya hujan. Namun, manusia dianugerahi akal untuk berikhtiar, seperti membuat hujan buatan.
Ia menceritakan pengalaman di Gunung Kidul pada era Soeharto, ketika Menteri Ir. Sutami menginisiasi hujan buatan untuk mengatasi kemarau. Meski mendung berhasil diciptakan, angin dari Australia membawa hujan ke Yogyakarta, bukan Wonosari.
“Manusia wajib berusaha, tapi Allah yang menentukan hasilnya,” katanya, seraya menyebut peran BMKG yang membantu masyarakat mempersiapkan diri menghadapi cuaca.
Pertanyaan ketiga tentang jenis kelamin bayi, yang dijawab dengan وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ, mengingatkan bahwa pengetahuan tentang isi rahim hanya milik Allah. Meski teknologi seperti USG atau prediksi dukun bayi bisa membantu, kebenarannya tidak mutlak.
Waharjani berbagi kisah dari erupsi Merapi 2010, ketika seorang ibu melahirkan di tengah kepanikan. Bayi perempuan yang lahir diberi nama Siti Volkanowati, terinspirasi dari abu vulkanik. “Nama bisa kita siapkan, tapi Allah yang menentukan segalanya,” ujarnya.
Pertanyaan keempat, وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا, menegaskan bahwa manusia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Waharjani mengajak jemaah merenungi pentingnya perencanaan, seperti menyiapkan jadwal sekolah atau keberangkatan haji, namun tetap berserah diri pada kehendak Allah. Ia menyebut keberangkatan 7.003 jemaah haji gelombang pertama ke Madinah baru-baru ini sebagai contoh ikhtiar yang disertai doa agar menjadi haji mabrur.
Terakhir, pertanyaan tentang tempat kematian, وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ, menegaskan bahwa hanya Allah yang tahu di mana seseorang akan meninggal. Waharjani mengajak jemaah untuk selalu mempersiapkan diri dengan amal shalih, seperti membaca Al-Qur’an, berdakwah, dan menjauhi kemungkaran, agar akhir hidup mereka diridhai Allah.
Kajian ini tidak hanya memperkaya wawasan jemaah tentang makna Surah Luqman ayat 34, tetapi juga menginspirasi untuk menyeimbangkan ikhtiar dan tawakal.
“Manusia boleh berusaha, tapi Allah yang menentukan. Yang terpenting, kita isi hidup dengan kebaikan agar siap menghadap-Nya kapan pun,” kata Waharjani.