MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Peringatan Hari Buruh Internasional bagi pekerja migran Indonesia saat ini mengandung dua sisi. Satu sisi kita masih sangat prihatin terhadap keamanan, kekerasan, penyiksaan, dan pelindungan nasib pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Pada Desember tahun lalu, tercatat sebanyak 5.076.000 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri di kurang lebih 100 negara secara resmi. Sementara ada 5.400.000 PMI yang mengadu nasib di luar negeri melalui jalur unprocedural atau ilegal.
“Di sisi lain peluang untuk bekerja di luar negeri sebetulnya sangat terbuka sehingga dapat menjadi bagian solusi masalah terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri,” kata Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, M. Nurul Yamin pada Rabu (29/4).
Yamin menyampaikan, PMI yang mengadu nasib di luar negeri saat ini pada umumnya didominasi perempuan dengan tingkat pendidikan SLTA dengan mayoritas bekerja di sektor domestik yaitu sebagai asisten rumah tangga.
“Juga sebagai caregiver, terutama untuk merawat lansia dan orang-orang dengan berkebutuhan khusus. Tentu ada juga sektor lain seperti konstruksi dan perkebunan,” tuturnya.
Pekerjaan sebagai asisten rumah tangga dikategorikan sebagai jenis pekerjaan unskilled labour atau pekerja yang tidak memiliki keterampilan. “Saya kira ke depan perlu reorientasi pengiriman atau penempatan pekerja migran Indonesia dari unskilled labour ke skilled labour atau pekerja yang memiliki keterampilan kerja memadai,” sambungnya.
Tantangan PMI Saat Ini
Pertama, pemahaman bekerja di luar negeri. Rendahnya pemahaman terkait prosedur dan tata cara bekerja di luar negeri, dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membujuk calon pekerja migran menempuh jalan pintas.
Kedua, keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan berkaitan erat dengan tingkat keterampilan pekerja migran. Ketiga, bahasa dan komunikasi, keterbatasan bahasa dan komunikasi pekerja migran Indonesia menjadi salah satu faktor penghambat kelancaran dalam menjalankan pekerjaan.
Keempat, cultural shock atau gegar budaya, dimana negara tempat bekerja berbeda dengan budaya asalnya, sehingga terkadang menimbulkan kekagetan budaya yang bisa menimbulkan masalah dalam pekerjaan.
“Termasuk dalam gegar budaya ini adalah karakter orang di negara tujuan yang ternyata berbeda dengan yang dipersepsikan sebelum berangkat ke luar negeri,” katanya.
Fokus MPM Muhammadiyah Berdayakan PMI
Muhammadiyah melalui Majelis Pemberdayaan Masyarakat memandang masalah PMI secara komprehensif dari hulu sampai hilir dalam sebuah ekosistem pemberdayaan pekerja migran Indonesia.
“Pemberdayaan PMI bukan hanya menyangkut yang bersangkutan, tetapi juga keluarga dan masyarakat di mana pekerja migran itu berasal,” ungkap Yamin.
Pada sisi lain, pemberdayaan pekerja migran harus berkesinambungan dari sebelum berangkat, selama bekerja sebagai pekerja migran, dan setelah atau purna pekerja migran. Untuk mewujudkan ekosistem pemberdayaan pekerja migran Indonesia, maka perlu diperkuat di sektor hulunya yaitu di kantor-kantong atau desa yang selama ini banyak mengirimkan pekerja migran Indonesia.
Muhammadiyah menghadirkan program Kampung Migran Berkemajuan. Program ini diharapkan menjadi lokus pemberdayaan PMI khususnya pada sisi literasi – sebab mereka menjadi kelompok rentan karena rendahnya literasi secara luas. Serta membangun kesadaran spiritual, dan gaya hidup cukup
“Dengan Kampung Migran Berkemajuan diharapkan calon pekerja migran beserta keluarganya sudah memiliki kesiapan dan motivasi yang sama untuk merubah nasib hidup agar lebih baik,” tuturnya.
Di samping sektor hulu, sektor hilir atau saat pekerja migran sudah mulai bekerja di luar negeri harus menjadi perhatian. Isu utama di sisi hilir ini adalah keamanan, gaya hidup, spiritualitas, dan literasi keuangan.
Selain itu, Muhammadiyah melalui MPM menghadirkan program Sahabat Migran Berkemajuan atau disingkat SaranMu. Melalui SaranMu komunikasi dan literasi pekerja migran Indonesia terus dilakukan.
Motivasi utama pekerja migran Indonesia adalah motivasi ekonomi, sehingga dengan menjadi pekerja migran dapat mengatasi persoalan ekonomi secara berkelanjutan. Untuk itu program pemberdayaan ekonomi pekerja migran menjadi faktor utama untuk dilakukan.
“Hanya saja, motivasi perbaikan ekonomi ini tidak hanya pekerja migrannya saja, tetapi dibutuhkan kerjasama dengan keluarga di tanah air. Dengan pemberdayaan ekonomi diharapkan hasil dari bekerja di luar negeri bisa digunakan untuk mengembangkan pertanian, peternakan atau usaha lain yang memiliki nilai ekonomi ke depan,” kata Yamin.
Yamin menambahkan, saat ini sudah ada beberapa kegiatan pemberdayaan PMI yang dilakukan oleh MPM bersinergi dan kolaborasi yang melintas seperti di Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur di sektor pertanian, dan peternakan.
Diplomasi Politik Luar Negeri untuk PMI
Perlu penegakan hukum yang kuat, karena masalah pelindungan pekerja migran berhadapan dengan tembok sindikat yang kuat. Diperlukan komitmen yang kuat setiap aparat penegak hukum di setiap lini. Disamping itu keterlibatan organisasi masyarakat sipil untuk ikut berkontribusi mengurai masalah pekerja migran tersebut
Menurut Yamin kebijakan terkait pekerja migran di luar negeri belum inheren dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Pengiriman pekerja migran belum menjadi politik diplomasi yang dipersiapkan secara matang, tidak terbatas perlindungan warga negara di luar negeri.
Perlu sinergi lintas Kementerian yang solid, karena pelindungan pekerja migran bukan hanya menyangkut Kementerian Pelindungan Pekerja Migran saja, tetapi banyak instansi terkait, bahkan untuk tidak lupa melibatkan kekuatan masyarakat madani, seperti Muhammadiyah.
“Pekerja Migran Indonesia di luar negeri merupakan etalase wajah kebudayaan bangsa di ranah global. Untuk kehadiran pekerja migran Indonesia bukan hanya membawa dampak ekonomi seperti pemasukan devisa, tetapi kita sebagai bangsa akan bangga bila para pekerja migran Indonesia diakui dunia karena kualitas sumberdaya manusianya yang terdidik, tetapi juga budayanya yang adiluhung,” tutup Yamin.