MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam episode terbaru Podcast Wonderhome Library yang disiarkan pada Jumat (15/05), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Muhammad Syifa Amin Widigdo, mengajak pendengar untuk merenungi pentingnya penggunaan akal di tengah maraknya kecerdasan buatan (AI).
Syifa menyoroti bagaimana ketergantungan berlebih pada AI dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, khususnya di kalangan mahasiswa.
Syifa berbagi pengalaman mengajar di mana mahasiswanya menggunakan AI untuk menganalisis data grafik dan tabel. Meski hasil analisis AI tampak rapi dan terstruktur, para mahasiswa gagal menjelaskan isi data tersebut saat diminta berdiskusi.
“Mereka hanya meng-copy hasil dari AI seperti ChatGPT tanpa memahami substansinya,” ujar Syifa. Fenomena ini, menurutnya, mencerminkan penggunaan AI yang kian meluas di Indonesia, yang menempati posisi ketiga dunia dalam lalu lintas AI setelah Amerika Serikat dan India, dengan 1,4 miliar aktivitas daring pada 2022–2023.
Survei yang dikutip Syifa mengungkapkan bahwa 97% mahasiswa di Indonesia memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas kuliah. Namun, 88% di antaranya menyadari risiko plagiarisme dan penurunan kemampuan berpikir kritis akibat penggunaan AI yang tidak bijak.
“Banyak yang hanya copy-paste hasil AI tanpa memprosesnya dengan akal mereka sendiri,” tambahnya.
Syifa menggarisbawahi pentingnya melatih higher order thinking skills (HOTS), seperti kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi baru, alih-alih hanya mengandalkan low order thinking skills seperti menghafal dan memahami secara permukaan.
Ia menggunakan analogi dunia sepak bola untuk menjelaskan hal ini. Fans Real Madrid, misalnya, mungkin hanya mengingat kejayaan klub dengan 15 gelar Liga Champions, tetapi gagal menganalisis kekalahan beruntun dalam pertandingan terbaru, seperti El Clasico atau Copa del Rey.
“Jika kita hanya terpaku pada hafalan tanpa analisis, kita tidak akan mampu menghadapi realitas,” tegasnya.
Menurut Syifa, ketergantungan pada AI tanpa melatih daya pikir dapat membuat manusia kehilangan keunggulannya sebagai makhluk berakal. Ia mengutip Al-Qur’an, Surah Ali Imran ayat 190–191, yang menekankan pentingnya berpikir dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah di langit dan bumi.
“Akal adalah anugerah yang membedakan kita. Jika otak kita menganggur, kita tidak lebih mulia dari makhluk lain yang tak berakal,” katanya.
Syifa menyarankan agar penggunaan AI diimbangi dengan pengembangan keterampilan berpikir kritis, seperti analisis, evaluasi, dan inovasi.
“AI boleh membantu, tapi jangan sampai kita menyerahkan segalanya padanya. Kita harus tetap melatih otak untuk menciptakan solusi baru bagi masalah yang semakin kompleks, mulai dari etika, teknologi, hingga lingkungan,” pungkasnya.
Podcast ini menjadi pengingat bahwa di era kemajuan teknologi, manusia harus terus mengasah akal untuk tetap relevan dan mampu menyelesaikan tantangan zaman.
“Oleh sebab itu jangan anggurkan otakmu, otakku, dan otak kita semuanya untuk memberi solusi bagi problematika kehidupan kita di masa depan,” tutup Syifa, mengajak semua pihak untuk terus berpikir kritis dan inovatif.