MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dominasi Eurocentrism dalam dunia akademik, terutama di negara-negara mayoritas Muslim, telah lama meminggirkan epistemologi Islam. Hal ini menciptakan jurang antara keilmuan Islam tradisional dan kurikulum universitas modern.
Isu mendesak ini menjadi fokus utama dalam International Seminar on Islamic Studies bertema “Islamic Framework on Decolonization” yang digelar pada Jumat (02/05), di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Diselenggarakan oleh Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) UMY, acara ini menghadirkan pidato kunci dari Dr. Joseph E.B. Lumbard, cendekiawan ternama yang dikenal atas kritiknya terhadap hegemoni akademik Barat. Sementara itu, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir menyampaikan sambutan.
Dalam sambutannya, Rofiq menyoroti pengaruh halus namun meluas dari kerangka Barat dalam disiplin akademik, bahkan di negara-negara mayoritas Muslim. “Masalahnya bukan hanya ‘di luar sana’ di Barat—tapi juga sangat hadir ‘di sini,’ dalam struktur dan kebiasaan institusi akademik kita sendiri,” katanya.
Ia menyoroti kecenderungan untuk mengutamakan pemikir Barat seperti Plato, Max Weber, dan Karl Popper dalam bidang seperti pemikiran politik, sosiologi, dan filsafat ilmu pengetahuan. Pada saat yang bersamaan meminggirkan tokoh-tokoh intelektual Islam seperti al-Mawardi, al-Ghazali, dan Ibn Taymiyyah, yang kontribusinya dalam tata kelola pemerintahan, etika, logika, dan epistemologi jarang diintegrasikan ke dalam kurikulum universitas.
Rofiq mengidentifikasi adanya jurang sistemik antara pengetahuan yang dikembangkan di pesantren dan wacana akademik di universitas. “Tidak ada jembatan epistemologis yang menghubungkan keduanya,” ujarnya, menyebut fenomena ini sebagai “amnesia epistemologis”, yaitu luput untuk membawa tradisi intelektual Islam yang kaya ke ruang akademik modern.
Ia memberikan contoh di berbagai disiplin: dalam pemikiran politik, konsep imāmah diabaikan demi Aristoteles; dalam hubungan internasional, ukhuwwah islāmiyyah (solidaritas Islam) tersisih oleh realisme Morgenthau; dan dalam studi komunikasi, kemampuan komunikasi Nabi Muhammad Saw jarang diakui di samping Habermas.
Rofiq menyebut tiga hambatan utama dalam mengintegrasikan epistemologi Islam ke dunia akademik: kurangnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan dosen universitas, yang membatasi akses ke teks klasik; asumsi Eurocentrism yang mengakar dalam kurikulum yang menganggap pengetahuan Barat sebagai standar universal; dan kurangnya kesadaran akan kedalaman serta keragaman tradisi intelektual Islam.
“Kita telah mereduksi tradisi ini menjadi legalisme atau dogma, padahal sebenarnya ia mengandung debat yang hidup, penyelidikan kritis, dan kekayaan filosofis,” tegas Rofiq.
Sebagai universitas Islam, UMY telah mengambil langkah konkret untuk mengatasi tantangan ini. Rofiq mencatat bahwa lingkungan UMY lebih kondusif untuk mengintegrasikan perspektif Islam dibandingkan banyak universitas negeri, yang ia gambarkan sebagai “bermusuhan atau apatis” terhadap tradisi intelektual Islam.
Salah satu inisiatif unggulan adalah pendirian Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) tiga tahun lalu, yang bertujuan menjembatani epistemologi Islam dengan disiplin akademik modern. Lembaga ini menyelenggarakan seminar, kuliah umum, dan kolaborasi untuk mengembangkan paradigma yang berakar pada epistemologi Islam yang kritis dan produktif.
Acara sebelumnya telah menghadirkan cendekiawan seperti Dr. Ovamir Anjum dan Dr. Mohammad Fadel, dengan kehadiran Dr. Lumbard kali ini melanjutkan dialog intelektual tersebut.
Rofiq menyerukan untuk memposisikan kembali tradisi Islam sebagai “mitra aktif dalam konstruksi pengetahuan,” bukan sebagai nostalgia, melainkan sebagai sumber dinamis untuk menjawab tantangan kontemporer.
Rofiq menekankan pentingnya mengajarkan bahasa Arab sebagai pintu gerbang ke teks klasik dan memikirkan ulang kurikulum untuk menantang bias Eurocentrism. Seminar ini, harapnya, akan mendorong “refleksi konstruktif—menuju pembangunan budaya akademik yang terdekolonisasi dan berpijak pada spiritualitas.”