MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sempat memanaskan sektor perekonomian global. Pasalnya bukan hanya sekedar kontroversial, namun juga memicu adanya perubahan besar dalam dinamika global.
Dilansir pada konverensi pers Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa kebijakan tarif Trump (Trump Tariff) yang dikemukakan oleh presiden AS tersebut adalah bertujuan untuk membentuk keseimbangan dan keadilan untuk perekonomian dunia.
Pakar politik luar negeri AS, Ratih Herningtyas dalam seminar ” Trumponomics & Pengaruhnya pada Ekonomi Politik Global” yang digelar pada Rabu (23/4) oleh Pusat Studi Keamanan Internasional (COISS) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengungkap bahwa sejak awal 2025, efek dari kebijakan tarif AS mulai terasa dan beberapa negara meresponsnya dengan cara yang berbeda-beda.
Ratih juga menyoroti dampak yang ada di dalam negeri Paman Sam tersebut. Dukungan terus menurun, masyarakat AS mulai kehilangan kepercayaan, bahkan juga di sembilan negara bagian swing voters yang sebelumnya menjadi kunci kemenangan Trump.
“Data menunjukkan, tingkat kepuasan publik pada Trump anjlok bahkan pada 100 hari pertama kepresidenannya dibandingkan dengan presiden sebelumnya,” jelas Ratih.
Lebih lanjut, Ali Muhammad juga turut menjelaskan dalam perspektif geopolitik. Kebijakan tarif Trump tersebut disebutnya merupakan cerminan dari sikap unilateralisme AS yang semakin kuat sejak 2017.
“AS menarik diri dari berbagai kesepakatan global seperti perjanjian Paris dan keanggotaan WHO dan hal tersebut tentu menciptakan ketidakstabilan. Perdagangan global anjlok drastis dan diprediksi turun hingga 80% di tahun 2025. Ini membuka jalan menuju resesi global,” ungkapnya.
Selanjutnya ia juga menilai bahwa kebijakan AS ini justru memberi ruang bagi Tiongkok dan Rusia untuk memperkuat pengaruhnya pada dunia.
“Ketika AS kehilangan kepercayaan dunia, kekosongan kepemimpinan global ini bisa dimanfaatkan oleh Tiongkok,” jelas Ali.
Indonesia Masih Bergantung pada AS dan Tiongkok
Turut hadir Pakar Ekonomi-Politik Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Faris Al-Fadhat. Pada forum yang diadakan di Ruang Amphitheater Gedung E6 KH. Ibrahim tersebut, Faris mengungkap bahwa ekonomi perdagangan Indonesia masih sangat bergantung baik pada Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia juga turut memprediksi bahwa kekuatan dagang di 10 tahun ke depan akan dikuasai oleh Tiongkok dan tentu itu akan menggeser AS selaku negara nomor 1 saat ini.
“AS belum siap memberikan posisi teratas bagi Tiongkok. Kebijakan tarif ini merupakan suatu upaya untuk memperlambat perekonomian Tiongkok dengan menarik negara-negara yang berhubungan baik dengan Tiongkok untuk kembali ke gerbong AS melalui kebijakan tarif tersebut,” jelas Faris.
Kedua negara tersebut masing-masing tentu memiliki mega proyek unggulannya. AS merupakan sponsor terbesar IMF, World Bank, dan WTO. Sementara Tiongkok hingga saat ini sedang giat membangun kekuatan ekonomi melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Belt Road Initiative (BRI).
Dengan pengaruh besar kedua negara tersebut, Faris menyatakan bahwa Indonesia tetaplah membutuhkan kedua negara tersebut sebagai kekuatan penopang ekonomi makro Indonesia.
“Kita masih bergantung pada AS dan Tiongkok mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia dengan 118 Miliar USD. Sedangkan AS merupakan investor terbesar bagi Indonesia secara kumulatif dan banyak perusahaan AS yang sudah hadir sejak 70 tahun lalu hingga sekarang. Berdagang dengan Tiongkok adalah nomor 1, Investasi dengan AS juga nomor 1,” tekannya. (bhisma)