MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Irwan Akib menegaskan bahwa profesor bukanlah gelar sosial.
Menurutnya sosok yang pantas mendapat gelar guru besar ukurannya bukan popularitas atau kekuasaan, melainkan kiprah ilmiah yang dicapai lewat proses panjang dan bermakna.
Pernyataan yang disampaikan Irwan Akib ini senada dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Sebab di tengah maraknya feodalisme gelar, sikap Muhammadiyah jadi penegas bahwa integritas ilmiah tak bisa dinegosiasikan.
Bagi Muhammadiyah, profesor bukan gelar simbolik, melainkan jabatan akademik yang diperoleh melalui proses yang ketat dan bertahap, dari asisten ahli hingga guru besar.
Menurut Irwan Akib, profesor bukan gelar sosial apalagi politik. Ia adalah jabatan akademik yang hanya bisa disandang oleh dosen aktif yang telah menempuh tahapan karir secara akademis.
“Adanya profesor kehormatan memang diatur dalam Permendikbudristek No. 38 Tahun 2021. Tapi secara etika, perlu dikaji ulang: apakah patut orang non-akademik tiba-tiba menyandang jabatan akademik tertinggi hanya karena dianggap punya kompetensi luar biasa?” ujar Irwan pada Jumát (18/4).
Lebih lanjut, ia mempertanyakan urgensi pemberian gelar profesor kehormatan. Bukankah kontribusi dan keahlian seseorang bisa dihargai dengan penghargaan yang relevan tanpa menyematkan embel-embel akademik?
Dalam budaya akademik yang sehat, kredibilitas dibangun lewat kerja ilmiah, bukan lewat popularitas atau jabatan di luar kampus. Muhammadiyah, lewat PTMA-nya, ingin menegakkan marwah ini.
Apresiasi terhadap tokoh publik atau profesional di luar dunia akademik bisa dilakukan dengan cara lain, misalkan kuliah umum, menjadi dosen tamu, atau penghargaan profesional lainnya. Tapi tidak dengan “jalan pintas” menyandang profesor.
Fenomena “gelar sebagai status sosial” masih kuat di masyarakat kita. Bahkan tak sedikit orang yang merasa tak lengkap tanpa gelar di depan namanya. Ironisnya, mental feodal semacam ini juga masih menjangkiti kalangan terpelajar.
Maka tak heran jika pemberian gelar kehormatan kadang lebih berbau politik pencitraan ketimbang semangat keilmuan. Muhammadiyah dengan tegas menolak jadi bagian dari budaya simbolik semacam itu. Bagi Muhammadiyah, profesor adalah amanah ilmiah, bukan penghargaan seremoni.