MUHAMMADIYAH.OR.ID, PURWOKERTO – Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal menyampaikan pentingnya bangunan budaya untuk memperkuat implementasi keagamaan sehingga lebih aktual.
Menurutnya, jika agama Islam dalam laku diterapkan terlalu mekanistik akan melahirkan formalitas agama yang sifatnya hanya banal semata – ajaran agama tidak masuk dan menyatu dalam kehidupan nyata umat.
Sebagai alumni Arab Saudi, Fathurrahman Kamal mengungkap kenyataan perbedaan praktik keagamaan di tanah Arab dengan di Indonesia.
Fathurrahman menguraikan, agama Islam di tanah Arab diterapkan secara ultra mekanistik karena mendapat intervensi politik. Di sana, kesalihan umat hadir karena intervensi politik atau pemerintah.
“Kesalihan itu di engineering oleh kekuasaan negara, sehingga kesalihan publik, masyarakat itu bukan kesalihan yang autentik, dan itu menjadi branding di dunia internasional,” kata Fathurrahman pada (19/4) dalam Silaturahmi PWM Jateng di UMP.
Perbedaan mencolok antara praktik budaya keagamaan Islam di Indonesia dan tanah Arab, ungkapnya, dapat dilihat dari perayaan hari Idulfitri – di Indonesia begitu semarak, namun di Arab dan beberapa negara lain justru sepi.
“Saya empat tahun, pak (di Saudi), Idulfitri, Iduladha. Iduladha mesti ramai karena kita haji, tapi coba lihat Idulfitri garing, pak. Tidak ada suatu mekanisme sosial,” ungkapnya.
Agama Islam digunakan sebatas pada narasi membangun persaudaraan, perdamaian, dan toleransi. Tapi karena tidak adanya mekanisme sosial menjadikan narasi itu berhenti tak sampai pada implementasi relasi sosial.
“Karena agama (di sana) itu mekanistik, tidak ada suatu peristiwa budaya yang membuat kita itu melepaskan segala hal,” katanya.
Berbeda dengan praktik keagamaan di Indonesia, di mana agama tidak diperlakukan sebagai mekanisme yang didukung politik. Sehingga egosentrisme ditekan sedemikian rupa oleh kebudayaan.
Adanya budaya keagamaan seperti halal bihalal, nuzulul qur’an, dan seterusnya menjadi sistem yang menjadikan agama tidak mekanistik. Agama yang menyatu dan membangun relasi sosial di setiap denyut nadi kehidupan umat dan masyarakat.
Fathurrahman Kamal mewanti-wanti supaya jangan sampai perbedaan kecil yang bukan masalah ushul atau pokok menjadi runcing, dan memicu adanya perpecahan di tubuh umat.