Syawal tiba, musim menikah pun menjelang. Undangan pernikahan bertebaran, menjadi tanda suka cita menyambut ikatan suci dua insan. Di tengah kemeriahan ini, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah ibadah mulia yang mengikat janji suci, dan pencatatannya menjadi langkah penting untuk memastikan ketertiban, kepastian hukum, serta perlindungan bagi pihak-pihak yang terlibat.
Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, pencatatan pernikahan memang belum dikenal secara formal. Sebuah pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, seperti ijab kabul, saksi, dan mahar.
Namun, untuk mengenalkan pernikahan tersebut kepada masyarakat, Rasulullah SAW menganjurkan pengumuman melalui walimatul ‘ursy, sebuah perhelatan yang menandakan keabsahan ikatan tersebut. Dalam sabdanya, beliau menegaskan:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah).
Rasulullah juga bersabda:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah meskipun hanya dengan memotong seekor kambing.” (HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf).
Pengumuman ini menjadi sarana untuk memastikan transparansi dan menghindari keraguan di masyarakat. Jika terjadi perselisihan atau pengingkaran terhadap pernikahan, pembuktiannya cukup dilakukan melalui kesaksian.
Namun, seiring perubahan zaman, kebutuhan akan pengaturan yang lebih terstruktur menjadi mendesak. Di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, pencatatan pernikahan telah diwajibkan demi menjaga kemaslahatan umat.
Pencatatan pernikahan bukan sekadar formalitas. Ia membawa kepastian hukum yang melindungi hak dan kewajiban suami, istri, serta anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Dengan adanya akta nikah, sebuah dokumen otentik, pihak-pihak yang terlibat memiliki bukti kuat atas ikatan yang telah dibentuk.
Jika terjadi perselisihan, seperti pengingkaran nafkah, hak waris, atau hubungan orang tua dan anak, akta nikah menjadi alat hukum yang sah untuk menegakkan keadilan.
Perubahan aturan menuju pencatatan pernikahan ini selaras dengan prinsip hukum Islam yang fleksibel terhadap dinamika zaman. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah juga menegaskan:
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ
“Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat istiadat.” (I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3)
Pencatatan pernikahan juga memiliki fungsi preventif. Melalui penelitian persyaratan oleh Pegawai Pencatat Nikah, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975, potensi pelanggaran syariat, seperti pernikahan yang dilarang atau pemalsuan identitas, dapat dicegah.
Misalnya, seorang pria yang mengaku jejaka ternyata telah memiliki istri dan anak dapat terdeteksi sebelum akad dilakukan. Langkah ini menjamin bahwa pernikahan berlangsung sesuai ketentuan agama dan hukum.
Dalam perspektif Islam, pencatatan pernikahan dapat diqiyaskan pada perintah mencatat transaksi muamalah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”
Jika transaksi keuangan saja dianjurkan untuk dicatat, maka akad nikah—yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat) dalam surat An-Nisa ayat 21—tentu lebih utama untuk didokumentasikan:
وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-istri, dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Tanpa pencatatan, pernikahan rawan disalahgunakan oleh oknum yang hanya mengejar kepentingan pribadi, merugikan pihak lain, terutama istri dan anak-anak. Oleh karena itu, pencatatan pernikahan adalah wujud nyata dari prinsip kemaslahatan, sebagaimana kaidah fiqhiyah:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”
Bagi warga Muhammadiyah, kewajiban mencatatkan pernikahan semakin diperkuat oleh komitmen organisasi untuk mematuhi hukum dan peraturan negara yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam Kepribadian Muhammadiyah pada Muktamar ke-35.
Di musim kawin ini, mari kita sambut pernikahan dengan penuh suka cita, namun jangan lupa untuk memastikan bahwa ikatan suci tersebut tercatat di KUA. Sebab, pernikahan yang sah bukan hanya soal cinta dan janji, tetapi juga tanggung jawab hukum yang menjamin keadilan dan kebahagiaan bersama.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fatwa Tarjih Tentang Nikah Sirri”, https://web.suaramuhammadiyah.id/2016/05/22/fatwa-tarjih-tentang-nikah-sirri/, diakses pada Senin, 07 April 2025.