MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam episode terbaru podcast di kanal YouTube Wonderhome Library pada Rabu (23/04), Mohammad Syifa Amin Widigdo mengupas buku Reopening Muslim Minds karya Mustafa Akyol.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini mengajak pendengar merenungi pertanyaan mendalam: mengapa banyak orang kecewa pada agama dan mengapa revolusi intelektual terjadi di Eropa, tetapi tidak di dunia Muslim?
Penulis buku Reopening Muslim Minds ini dikenal kontroversial; pada 2017, ia sempat ditahan dan dideportasi dari Malaysia karena bukunya Islam Without Extremes dianggap mengganggu kebebasan berpikir. Dalam karya terbarunya, Akyol mengajak umat Muslim membuka kembali pemikiran mereka melalui refleksi filosofis dan rasional.
Fokus utama podcast adalah bab pertama buku tersebut, yang membahas novel abad ke-12 karya Ibnu Tufail, Hayy Ibn Yaqdhan. Novel ini menceritakan kisah Hayy, seorang anak yang dibesarkan oleh kijang di pulau terpencil. Tanpa kontak manusia, Hayy belajar anatomi, fisika, biologi, dan botani secara otodidak melalui pengamatan alam.
Di usia 49 tahun, Hayy mulai merenungkan pertanyaan filosofis tentang asal-usul alam, kehidupan, dan kematian.
Kisah Hayy berubah ketika ia bertemu Asal, seorang pengembara dari pulau beradab yang membaca kitab suci secara rasional, berbeda dengan rajanya, Salman, yang berpegang pada interpretasi tekstual. Pertemuan Hayy dan Asal menghasilkan diskusi mendalam tentang etika, Tuhan, dan asal-usul manusia.
Namun, ketika Hayy mengunjungi pulau Asal, ia menemukan kontradiksi: masyarakat yang taat beribadah tetapi korup dan bermoral rusak. Kekecewaan ini mendorong Hayy dan Asal kembali ke pulau terpencil. Kembalinya mereka mencerminkan krisis kepercayaan terhadap “agama” yang hanya ritual tanpa moral.
Syifa menyoroti bagaimana Hayy Ibn Yaqdhan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-17 oleh Edward Pococke sebagai Philosophus Autodidactus (Filosof Otodidak). Novel ini memengaruhi karya Daniel Defoe, Robinson Crusoe, dan menginspirasi kelompok Quaker di Eropa. Quaker, yang percaya pada “cahaya batin” sebagai penuntun kebenaran, menemukan resonansi dalam cerita Hayy.
Pemikiran ini memengaruhi tokoh seperti William Penn, yang memperjuangkan kebebasan beragama di Pennsylvania, serta Benjamin Franklin, yang mendukung hak asasi dan anti-perbudakan. Bahkan, ide-ide dari novel ini turut mendorong pendidikan dan hak suara bagi perempuan di Barat.
Namun, Syifa mencatat bahwa dunia Muslim tertinggal dalam merespons gagasan serupa. Menurut Akyol, kekecewaan terhadap agama muncul dari ketidaksesuaian antara ritual dan moralitas.
Sementara itu, revolusi intelektual tidak terjadi di dunia Muslim karena akal sering kali dinomorduakan, kalah oleh pendekatan legalistik dan dogmatik dalam beragama. Akyol menawarkan solusi: mengintegrasikan rasionalitas dan refleksi batin dengan praktik keagamaan agar tercipta harmoni antara ritual dan moral.
Melalui podcast ini, Syifa mengajak pendengar untuk merefleksikan pentingnya membuka pikiran, sebagaimana dicontohkan oleh Hayy Ibn Yaqdhan. “Idealnya, akal dan ritual berjalan seiringan,” ujar Syifa, seraya menutup diskusi dengan harapan gagasan ini dapat menginspirasi umat Muslim masa kini.