MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, menyampaikan ceramah bertema “Rahasia di Balik Puasa Syawal” di Masjid KH Sudja, Yogyakarta, pada Ahad (14/4).
Dalam kajian yang dihadiri jamaah setempat, Budi mengajak umat Islam untuk memahami makna Syawal sebagai bulan peningkatan ibadah, kualitas hidup, dan kerja, sekaligus menegaskan pentingnya menjaga amalan Ramadan agar tidak “berguguran” begitu memasuki Syawal.
Mengawali ceramahnya, Budi menjelaskan bahwa kata “Syawal” secara bahasa bermakna peningkatan. “Syawal adalah bulan peningkatan ibadah, kualitas hidup, dan kerja, yang menjadi target utama puasa Ramadan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Ramadan melatih umat Islam untuk meningkatkan agenda harian, sehingga di bulan Syawal, seorang Muslim seharusnya tampil sebagai pribadi yang lebih baik. Namun, ia menyayangkan kenyataan bahwa banyak jamaah justru “berguguran” dalam menjaga ibadah begitu memasuki hari pertama Syawal.
“Baru 1 Syawal, banyak yang sudah tidak salat Subuh. Ribuan orang berbondong-bondong salat Idul Fitri, tapi sebagian lupa salat Subuh, bahkan ada yang lupa wudu,” ungkapnya dengan nada jenaka, disambut tawa jamaah.
Budi juga menyoroti kecenderungan jamaah yang sibuk silaturahmi di hari Lebaran hingga melupakan salat wajib, seperti Zuhur, Asar, hingga Isya, dengan alasan “dijamak.” Ia menyesalkan pula bahwa amalan Ramadan seperti tadarus Al-Qur’an, salat sunnah, zikir, dan infak sering terhenti di Syawal.
“Selama Ramadan kita tadarus, tapi 1 Syawal sudah tertinggal. Salat tahajud ditinggalkan dengan alasan capek silaturahmi atau kekenyangan makan ketupat,” katanya, seraya mengingatkan bahwa silaturahmi dan infak memang tetap terjaga di Syawal, tetapi ibadah lain sering terabaikan.
Lebih lanjut, Budi memaparkan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal, sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “Barang siapa berpuasa Ramadan, lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan-ia berpuasa setahun penuh.”
Hadis ini, menurutnya, diriwayatkan oleh banyak perawi, termasuk Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi, meskipun Imam Malik sempat mempertanyakan keabsahannya. “Jangan kaget jika ada yang bilang hadis ini lemah. Mayoritas ulama, termasuk Imam Muslim, mensahihkannya, jadi kita tak perlu ragu untuk mengamalkannya,” tegasnya.
Namun, ia menegaskan bahwa keutamaan ini hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan puasa Ramadan terlebih dahulu. Ia juga mengklarifikasi bahwa puasa Syawal dapat menghapus dosa kecil yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, bukan dosa yang melibatkan hak manusia, seperti utang atau menyakiti orang lain.
Terkait teknis pelaksanaan, Majelis Tarjih Muhammadiyah, menurut Budi, membolehkan puasa Syawal dilakukan secara berurutan (misalnya tanggal 2–7 Syawal) maupun terpisah selama masih di bulan Syawal.
“Hadis tidak menyebutkan secara rinci, jadi boleh urut atau tidak, yang penting enam hari,” jelasnya. Ia juga menyinggung tradisi “Lebaran Ketupat” di Jawa Timur pada tanggal 7 Syawal, yang menandakan selesainya puasa Syawal secara berurutan.
Budi menegaskan bahwa puasa Syawal tidak dapat digabungkan dengan qada puasa Ramadan karena perbedaan status amal (sunnah dan wajib). Ia juga menyarankan ibu menyusui yang membayar fidyah di Ramadan untuk tidak memaksakan puasa Syawal demi menjaga kualitas ASI, kecuali jika memang mampu.
Terkait puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), Budi menjelaskan bahwa puasa ini hukumnya sunnah tanpa batas waktu tertentu, sebagaimana disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam hadis Bukhari.