MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Institusi keagamaan Islam maupun perbankan syariah diminta Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir berijtihad mengejar ketertinggalan dari perbankan konvensional.
Harapan itu disampaikan Haedar Nashir pada Rabu (30/4) dalam Penandatangan Nota Kesepahaman antara PP Muhammadiyah dengan PT. Bank Aladin Tbk di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Kerja sama yang dibangun antara perbankan syariah dengan Muhammadiyah diharapkan selain mempermudah akses permodalan bagi pelaku ekonomi kecil, di sisi lain diharapkan memperkokoh perbankan itu sendiri.
“Jangan sampai ada cerita bank syariah tidak stabil. Maka harapan saya manajemen bank syariah harus makin baik,” katanya.
Sebagai urusan muamalah, perbankan syariah diharapkan Haedar tidak terlalu rumit terlebih tentang hukum-hukum syariat yang ditetapkan. Meski demikian, Haedar berpesan jangan sampai menggeser sesuatu yang menjadi prinsip.
“Jadi dibikin lebih longgar, lebih fleksibel yang penting prinsip-prinsip syariah itu terpenuhi. Karena jika terlalu rumit nanti untuk gerak itu menjadi susah,” imbuhnya.
Sebab menurutnya urusan ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan sebagainya yang masuk dalam urusan muamalah duniawiyah adalah urusan yang semuanya diperbolehkan, sampai adanya dalil yang melarang.
Oleh karena itu, Haedar Nashir meminta supaya peraturan jangan dibuat lebih banyak yang tidak bolehnya. Langkah strategis ini perlu diambil sebab saat ini institusi perbankan syariah sedang mengejar institusi lain yang maju lebih dahulu.
Di sisi lain, jika institusi Islam terlalu banyak urusan yang dibuat rigid akan mengurangi fleksibilitas sehingga untuk dirinya gerak sendiri pun menjadi susah.
“Saya yakin dengan ijtihad seperti itu, institusi-institusi keislaman atau keagamaan di umat Islam akan lebih fleksibel, akomodatif, kemudian juga bersifat negotiable nya tinggi,” ungkapnya.
Bahkan prinsip ini diharapkan Haedar tak hanya diterapkan di perbankan syariah saja, melainkan juga di institusi-institusi keislaman lain sebagai wadah urusan muamalah duniawiyah.
“Ini bukan liberal menurut saya, tapi justru ini penerjemahan dari makna al ibahah (Al-Aslu fi al-Ashya’ al-Ibahah:semua perkara dan benda dianggap halal kecuali ada bukti yang jelas (dalil) yang menunjukkan sebaliknya),” katanya.
Ijtihad ini perlu dilakukan sebab saat ini institusi-institusi milik keagamaan Islam sedang mengejar ketertinggalan dari institusi yang lain.