Khitanan sering kali dirayakan dengan mengundang kerabat, tetangga, dan sahabat untuk bersama-sama bersyukur atas pelaksanaan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Namun, sebuah riwayat dari Utsman bin Abi al-’Ash yang tercatat dalam Musnad Imam Ahmad memunculkan pertanyaan: apakah menghadiri undangan khitanan merupakan kebiasaan yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW?
Riwayat tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْحَرَّانِيُّ، عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ يَعْنِي مُحَمَّدًا، عَنْ عُبَيِدِ اللَّهِ، أَوْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ كَرِيزٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ، فَأَبَى أَنْ يُجِيبَ، فَقِيلَ لَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا كُنَّا لَا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نُدْعَى لَهُ» (رواه أحمد في مسنده ج ٤: ٢١٧)
“Telah melaporkan kepada kami Muhammad bin Salamah al-Harrani dari Ibnu Ishaq, yaitu Muhammad, dari Ubaidillah atau Abdullah bin Talhah bin Kariz, dari al-Hasan, ia berkata: Utsman bin Abi al-’Ash pernah diundang ke acara khitanan, tetapi ia menolak untuk memenuhi undangan itu. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, ‘Kami tidak pernah menghadiri khitanan pada masa Rasulullah SAW dan kami tidak diundang untuk itu.’” (HR. Ahmad, Musnad, IV:217).
Meskipun tidak ada perawi yang cacat (majruh), sanad dalam ini memiliki kelemahan. Ibnu Ishaq dan al-Hasan al-Basri adalah mudallis, yang dapat menimbulkan keraguan jika mereka tidak secara eksplisit menyatakan mendengar langsung dari perawi sebelumnya.
Selain itu, Ubaidillah bin Talhah berada pada peringkat maqbul, yang hanya diterima jika ada penguat (tabi’), dan dalam hal ini tidak ada riwayat serupa (syahid) dari jalur lain. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad gharib (tunggal), sehingga sulit diklasifikasikan sebagai sahih atau bahkan hasan.
Status Hadis: Marfu’ atau Mauquf?
Hadis marfu’ adalah laporan tentang perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi SAW yang menjadi dasar hukum, sedangkan mauquf adalah perkataan atau perbuatan sahabat yang tidak serta merta mengikat secara syariat.
Dalam hadis ini, Utsman menggunakan ungkapan, “Kami tidak melakukan… pada masa Rasulullah SAW.” Menurut sebagian ulama, seperti Imam Isma’ili, ungkapan semacam ini tetap mauquf karena tidak secara eksplisit menyebut perintah atau perbuatan Nabi.
Namun, mayoritas ahli hadis, termasuk Ibnu as-Salah, berpendapat bahwa jika sahabat menghubungkan suatu kebiasaan dengan masa Nabi, maka itu dapat dianggap marfu’ secara hukum, karena Nabi dianggap mengetahui dan menyetujuinya secara diam-diam (taqrir). Kaidahnya berbunyi:
الْمَوْقُوفُ يَقُومُ فِي حُكْمِ الْمَرْفُوعِ إِذَا كَانَ فِيهِ قَرِينَةٌ يُفْهَمُ مِنْهَا رَفْعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Hadis mauquf dapat berstatus marfu’ jika terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa ia dirujuk kepada Nabi SAW.”
Meski demikian, status marfu’ ini tidak serta merta menjadikan hadis ini sahih, karena sanadnya masih bermasalah.
Hukum Menghadiri Undangan Khitanan
Jika kita asumsikan hadis ini marfu’, maka ia tampak bertentangan dengan sejumlah hadis sahih yang mewajibkan atau menganjurkan memenuhi undangan. Misalnya:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
“Jika salah seorang dari kalian diundang ke jamuan makan, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia mau, silakan makan; jika tidak, silakan tinggalkan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad).
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلْيَأْتِهَا
“Jika salah seorang dari kalian diundang ke walimah, hendaklah ia mendatanginya.” (HR. Bukhari, Muslim).
Hadis-hadis ini menegaskan kewajiban atau anjuran memenuhi undangan secara umum, termasuk walimah khitanan, yang merupakan bagian dari tradisi syukuran dalam Islam. Ulama seperti Ibnu Qudamah dalam al-Mughni membedakan bahwa memenuhi undangan walimah pernikahan adalah wajib karena sifatnya yang harus diumumkan (i’lan), sebagaimana sabda Nabi:
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
“Umumkanlah pernikahan.” (HR. Ahmad).
Namun, untuk walimah selain pernikahan, seperti khitanan, hukumnya sunnah. Dengan demikian, pernyataan Utsman dalam hadis di atas, jika dianggap sahih, mungkin mencerminkan konteks khusus pada masanya, tetapi tidak dapat mengesampingkan dalil-dalil yang lebih kuat dan umum.
Kesimpulan
Hadis Utsman bin Abi al-’Ash memiliki sanad yang lemah karena adanya perawi mudallis dan tidak adanya penguat dari jalur lain. Meskipun secara teoretis dapat dianggap marfu’, isi (matan) hadis ini tidak selaras dengan hadis-hadis sahih yang menganjurkan memenuhi undangan walimah, termasuk khitanan.
Oleh karena itu, hukum menghadiri undangan khitanan tetap mengikuti dalil yang lebih kuat, yaitu sunnah (dianjurkan), sebagaimana tradisi umat Islam yang berlaku hingga kini.
Wallahu a’lam.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Kedudukan Hadis Mengenai Undangan Menghadiri Khitanan”, https://fatwatarjih.or.id/hadis-tentang-undangan-menghadiri-khitanan/, diakses pada Selasa, 08 April 2025.