Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Namun, pertanyaan yang kerap mengemuka adalah: bolehkah seseorang menunaikan ibadah haji dengan biaya dari orang lain, misalnya dari orang tua?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu merujuk pada syariat Islam, khususnya konsep istithaa’ah atau kemampuan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, hadis, dan pandangan para ulama.
Al-Qur’an dengan tegas menetapkan syarat kemampuan sebagai prasyarat wajibnya haji. Dalam surat Ali Imran ayat 97, Allah berfirman:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan kepadanya.”
Kata istathaa’a ilaihi sabiila (mampu mengadakan perjalanan) menjadi inti pembahasan. Menurut para mufassir dan fuqaha, istithaa’ah mencakup tiga dimensi utama: badaniyyah (fisik), maliyyah (keuangan), dan maniyyah (keamanan).
Pertama, istithaa’ah badaniyyah menekankan pentingnya kesehatan dan kekuatan fisik. Orang yang lemah karena usia tua atau sakit berat tidak diwajibkan menunaikan haji, karena ibadah ini menuntut ketahanan fisik untuk menjalani rangkaian ritual yang panjang.
Kedua, istithaa’ah maliyyah merujuk pada kemampuan keuangan, yaitu memiliki bekal untuk perjalanan haji serta cukup untuk menjamin kehidupan keluarga yang ditinggalkan.
Ketiga, istithaa’ah maniyyah menyangkut keamanan selama perjalanan, yang bagi wanita mencakup keharusan ditemani mahram.
Konsep istithaa’ah maliyyah menjadi sorotan utama dalam konteks haji yang dibiayai orang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny dari para sahabat seperti Jabir, Ibnu Umar, dan Aisyah, Rasulullah SAW ditanya tentang makna sabiila dalam ayat di atas. Beliau menjawab: الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ (azzaad warraahilah), yang berarti “bekal dan kendaraan.”
Hadis serupa dari At-Tirmidzi, yang diklasifikasikan sebagai hadis hasan, juga menyebutkan jawaban yang sama dari Rasulullah ketika seorang sahabat bertanya tentang apa yang mewajibkan haji. Dengan demikian, bekal dan sarana transportasi menjadi syarat utama wajibnya haji.
Namun, apakah bekal tersebut harus berasal dari harta pribadi? Syariat tidak secara eksplisit mensyaratkan bahwa bekal haji harus dari hasil jerih payah sendiri. Yang terpenting adalah kehalalan bekal tersebut.
Dalam sebuah riwayat dari Ath-Thabarany dalam Al-Ausath, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seseorang yang menunaikan haji dengan bekal halal akan mendapat doa kebaikan agar hajinya menjadi mabrur. Sebaliknya, orang yang berhaji dengan bekal haram akan mendapat laknat, dan hajinya tidak diterima sebagai haji mabrur.
Pemberian biaya haji dari orang lain, termasuk dari orang tua, dianggap halal selama diberikan dengan ikhlas dan tanpa paksaan atau motif yang bertentangan dengan syariat. Dalam tradisi Islam, pemberian seperti ini bahkan dipandang sebagai bentuk kebajikan, terutama jika orang tua dengan tulus ingin membantu anaknya menunaikan ibadah haji.
Hal ini sejalan dengan prinsip umum dalam Islam bahwa segala bentuk ibadah yang bertujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) harus dilakukan dengan cara yang halal dan sesuai perintah Allah. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 267:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”
Dengan demikian, menunaikan haji dengan biaya dari orang tua adalah sah dan dapat menjadi haji mabrur selama rukun dan syarat haji lainnya terpenuhi, serta bekal tersebut diperoleh secara halal. Ini juga mencerminkan nilai kebersamaan dalam Islam, di mana keluarga saling mendukung untuk meraih keridhaan Allah.
Namun, penting untuk memastikan bahwa pemberian tersebut tidak disertai motif yang meragukan, seperti tekanan atau ekspektasi duniawi, yang dapat mengurangi keikhlasan ibadah. Biaya haji dari orang tua, selama halal dan ikhlas, bukanlah penghalang untuk meraih haji yang diterima di sisi Allah.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Berangkat Haji Bukan Dengan Biaya Sendiri”, https://fatwatarjih.or.id/hukum-berangkat-haji-bukan-dengan-biaya-sendiri/, diakses pada Senin, 28 April 2025.