MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURABAYA – Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (23/04), Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, Biyanto, menegaskan peran strategis guru sebagai muallim (pendidik) dalam menjaga akhlak mulia dan menguasai teknologi di tengah tantangan era disrupsi.
Mengacu pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Innama bu’itstu mu’alliman” (Sesungguhnya aku diutus sebagai guru), Biyanto menekankan bahwa guru memiliki misi utama membentuk karakter unggul pada generasi muda.
Mengutip Surah Al-Qalam ayat 4, “Wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim” (Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung), dan hadis “Li utammima makarimal akhlaq” (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia), Biyanto menjelaskan bahwa guru harus menjadi teladan dalam menanamkan kejujuran, integritas, dan kedekatan dengan Allah.
“Guru adalah segalanya, mendidik dengan hati untuk mencetak generasi hebat,” ujarnya, seraya menyebut pendidikan sebagai proses lambat namun berdampak besar, sebagaimana dikatakan William James Fulbright.
Biyanto merujuk Surah Al-Jumu’ah ayat 2 untuk menjabarkan tiga misi guru: menjadi ilmuwan, menjalankan tanggung jawab sosial, dan mencerahkan.
Sebagai ilmuwan, guru harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), termasuk STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), agar relevan dengan kebutuhan zaman. Sebagai agen sosial, guru harus terlibat di masyarakat. Terakhir, guru harus mencerahkan dengan transfer ilmu yang membangun kesadaran spiritual dan moral.
Di era disrupsi, Biyanto menyoroti pengaruh media sebagai pilar pendidikan baru, selain keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial. Riset menunjukkan 98% milenial dan Gen Z aktif di internet, namun media dapat membentuk karakter buruk jika tidak didampingi.
“Guru dan orang tua harus membimbing anak agar cerdas bermedia, memilih konten positif,” tegasnya. Ia juga memperingatkan pergeseran otoritas keagamaan, di mana informasi instan dari media sosial sering lebih dipercaya ketimbang ulama atau guru, menciptakan fenomena “mendadak ustaz” tanpa proses belajar mendalam.
Untuk menjaga akhlak, Biyanto menekankan pentingnya pendidikan spiritual dan pembinaan akhlak (tarbiyatul akhlaq), seperti mengajarkan kejujuran dan rasa syukur. Guru juga harus menjadi role model, terutama di tengah maraknya kasus korupsi dan perilaku negatif figur publik.
Ia mengutip nasihat Malik Fajar, “Jadi orang Muhammadiyah harus luas dan luwes,” untuk mendorong sikap inklusif dan wawasan luas dalam menyikapi perbedaan.
Mengacu pada visi Kiai Dahlan, Biyanto menyerukan guru mencetak lulusan “ulama intelektual” yang kuat secara agama dan intelektualitas. Ia juga mengutip Ali bin Abi Thalib, “Jangan mendidik anak dengan cara lama, karena mereka hidup di zaman yang berbeda.”
Guru diminta mengajarkan materi baru, seperti keterampilan digital, untuk menjawab tantangan pekerjaan modern seperti content creator, sembari mewaspadai profesi yang terdisrupsi seperti penerjemah akibat kemajuan AI.
Biyanto menutup dengan mengapresiasi tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat dari Abdul Mu’ti—bangun pagi, beribadah, belajar, hingga bermasyarakat—sebagai upaya membangun karakter melalui habituasi. Dengan menjaga akhlak dan menguasai teknologi, guru Muhammadiyah diharapkan menjadi pencerah yang membentuk generasi unggul.