Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Namun, kewajiban ini tidak berlaku secara mutlak bagi setiap muslim. Allah Swt telah menetapkan syarat istitha’ah sebagai prasyarat wajibnya haji.
Dalam Al-Qur’an, hal ini dijelaskan dengan tegas dalam Surah Ali Imran ayat 97:
فِيْهِ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ اْلبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ اْلعَالَمِيْنَ
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran, 3:97).
Ayat ini menegaskan bahwa haji hanya wajib bagi mereka yang memiliki kemampuan, baik dari segi biaya, kesehatan jasmani, maupun keamanan perjalanan. Bagi mereka yang tidak memiliki istitha’ah, kewajiban haji tidak berlaku, sehingga tidak perlu memaksakan diri mencari bantuan, apalagi hingga berutang atau menerima dana dari sumber yang diragukan kehalalannya.
Namun, muncul pertanyaan: bagaimana jika seorang non-Muslim menawarkan bantuan biaya untuk menunaikan haji? Apakah bantuan tersebut boleh diterima?
Untuk menjawab ini, kita perlu merujuk pada prinsip syariat bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah, termasuk biaya haji, harus bersumber dari harta yang thayyib (bersih dan halal). Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah adalah Thayyib, Dia tidak menerima kecuali yang thayyib (bersih dan halal) …” (HR. Muslim, Kitab az-Zakah, No. 65/1015: 448).
Hadis ini menegaskan bahwa Allah hanya menerima amal yang bersumber dari harta yang halal dan bersih. Dalam konteks bantuan haji, baik dari muslim maupun non-Muslim, kehalalan dan kebersihan sumber harta menjadi kunci utama.
Jika bantuan dari seorang non-Muslim diyakini berasal dari usaha yang halal, misalnya dari hasil kerja keras, bisnis yang sah, atau pemberian tanpa motif yang bertentangan dengan syariat, maka bantuan tersebut boleh diterima. Sebaliknya, jika harta tersebut diragukan, misalnya berasal dari korupsi, penipuan, atau aktivitas yang diharamkan, maka bantuan tersebut harus ditolak, terlepas dari siapa pemberinya.
Prinsip ini selaras dengan ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan pemberi bantuan berdasarkan agama, selama sumber hartanya memenuhi kriteria thayyib. Dalam sejarah Islam, terdapat contoh di mana Rasulullah Saw menerima hadiah dari non-Muslim, seperti dari Raja Muqawqis dari Mesir, selama hadiah tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Ini menunjukkan bahwa penerimaan bantuan dari non-Muslim bukanlah masalah, selama memenuhi syarat kehalalan.
Bantuan haji dari non-Muslim dapat diterima selama harta tersebut thayyib dan tidak bertentangan dengan syariat. Namun, seorang muslim yang belum memiliki istitha’ah sebaiknya tidak memaksakan diri mencari bantuan, karena haji bukanlah kewajiban baginya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Bantuan Dana untuk Ibadah Haji dari Orang Non Muslim”, https://fatwatarjih.or.id/bantuan-dana-untuk-ibadah-haji-dari-orang-non-muslim/, diakses pada Sabtu, 26 April 2025.