Oleh: Ilham Ibrahim
Pada Tanfidz Muktamar ke-48 di Solo tahun 2020, Muhammadiyah dengan tegas menolak segala bentuk rezimintasi keagamaan. Menurut Haedar Nashir, rezimintasi keagamaan sendiri merupakan masalah di mana paham keagamaan tertentu secara bias dan subyektif lalu ingin disenyawakan dengan negara dan menjadi kekuatan negara.
Muhammadiyah memandang bahwa upaya membangun rezimintasi keagamaan semacam itu akan melahirkan tafsir keagamaan yang monolitik, cenderung memaksa, dan merusak esensi pluralitas. Bagi Muhammadiyah, tidak boleh ada perselingkuhan antara satu tafsir keagamaan dengan otoritas politik di tengah pluralitas pikiran.
Alasannya karena perpaduan ini sering kali menghasilkan kekerasan intelektual, di mana satu mode berpikir dianggap sah, halal, dan institusional, sementara mode yang lain dicap sesat, haram, bahkan bisa saja disbeut makar. Formalisasi mode berpikir semacam ini, ketika didukung oleh kekuatan politik, kerap berujung pada tragedi intelektual yang menyisakan luka dalam sejarah.
Sejarah Islam sendiri telah mencatat sisi gelap dari rezimintasi keagamaan. Salah satu contoh tragis adalah nasib Imam Abu Hanifah pada abad ke-8 di Baghdad, Abbasiyah. Dengan keberanian intelektualnya, ia melancarkan kritik dan menentang kezaliman Khalifah al-Manshur. Ia juga menolak menjadi bagian dari rezim al-Manhsur karena tidak ingin keilmuannya disubordinasikan kepada kepentingan politik.
Kritik Imam Abu Hanifah ini tersirat dalam sikapnya yang menolak menjadi alat politik. Penolakan ini mencoreng nama baik Sang Khalifah sehingga tidak diterima begitu saja oleh penguasa. Keberanian Imam Abu Hanifah itu harus dibayar mahal: dijebloskan ke dalam penjara selama dua tahun, kemudian diracun dan menemui ajalnya.
Contoh lain yang tak kalah kelam adalah peristiwa Mihnah pada masa Khalifah al-Ma’mun. Pada masa itu, dunia Islam sedang bergelora dengan keberagaman mazhab pemikiran keagamaan. Terjadi pertukaran gagasan yang begitu dinamis. Berbagai kelompok terlibat dalam diskusi teologi yang memperkaya wacana keagamaan.
Namun, di tengah pertarungan gagasan itu, Khalifah al-Ma’mun memihak kaum Mu’tazilah dan memusuhi kaum Hadis yang dipimpin oleh Imam Ahmad ibn Hanbal. Dalam upaya memaksakan pandangan Mu’tazilah ini, al-Ma’mun melancarkan Mihnah atau inkuisisi yang menyiksa dan memenjarakan banyak cendekiawan, termasuk Imam Ahmad ibn Hanbal.
Peristiwa ini menjadi noda kelam dalam sejarah intelektual Islam. Hal ini menunjukkan betapa berbahayanya ketika kekuasaan politik menjadi alat untuk memaksakan satu tafsir keagamaan. Rezimintasi keagamaan merupakan pengkhianatan terhadap semangat Islam yang mendorong ijtihad dan dialog.
Entah dengan kesadaran seperti ini atau tidak, penolakan terhadap rezimintasi keagamaan memiliki justifikasi historis yang sangat kuat. Hal tersebut ditunjukkan oleh Imam Malik bin Anas pada masa Khalifah al-Manshur. Atas usulan Ibn al-Muqaffa, al-Manshur meminta Imam Malik menyusun hukum yang dapat diterima semua pihak.
Meski setuju menyusun Al-Muwaththa, Imam Malik menolak menjadikannya hukum baku yang mengikat seluruh wilayah Kekhilafahan. Alasannya karena para sahabat Nabi telah menyebar ke berbagai provinsi. Mereka telah membentuk aliran hukum masing-masing, dan masyarakat tidak boleh dipaksa mengikuti satu pendapat dari manusia yang tidak maksum.
Dengan alasan yang kurang lebih sama itulah, Muhammadiyah menolak rezimintasi keagamaan. Muhammadiyah memandang acapkali terjadi perbedaan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, terasa sekali adanya gejala rezimintasi oleh suatu kelompok keagamaan. Dengan dalih “Ulil Amri” dalam QS. An-Nisa ayat 59 dan kaidah fikih “hukm al-hakim ilzamun”, kelompok ini menyelinap di dalam tubuh kekuasaan dan memaksakan rukyat.
Ketika Muhammadiyah memperjuangkan penerapan KHGT, apakah justru akan berisiko memunculkan rezimintasi keagamaan? Jika pemberlakuan KHGT memerlukan dukungan otoritas politik untuk menyeragamkan penentuan waktu ibadah, maka hal ini tentu berpotensi memaksakan satu tafsir keagamaan, khususnya terkait kriteria awal bulan.
Bukankah ini dapat menciderai pluralitas pemikiran Islam, mengingat sejarah kelam seperti Mihnah atau penolakan Imam Malik terhadap formalisasi hukum menunjukkan bahaya keterlibatan kekuasaan politik dalam keilmuan agama? Bagaimana Muhammadiyah dapat memastikan KHGT tidak menjadi alat hegemoni keagamaan yang baru?
KHGT dan Rezimintasi Keagamaan
Upaya Muhammadiyah mempromosikan KHGT telah membuka wacana baru dalam penentuan awal bulan Hijriah. Namun, di balik niat mulia untuk menyatukan umat Islam dalam harmoni waktu ibadah ini muncul kegelisahan: akankah KHGT justru melahirkan rezimintasi keagamaan?
Inti dari kegelisahan ini terletak pada asumsi bahwa perlu ada peran otoritas politik dalam penentuan awal bulan Hijriah. Hal ini berdasarkan dari sejarah standarisasi Kalender Masehi yang kini menjadi penanda waktu internasional, tidak lepas dari campur tangan otoritas politik.
Pertanyaan kritis pun mengemuka: apakah KHGT akan mengikuti jejak serupa, di mana otoritas politik memaksakan satu tafsir keagamaan sambil mengorbankan pluralitas yang menjadi ruh tradisi Islam?
Dalam acara Halaqah Nasional Kalender Hijriah Global Tunggal pada Sabtu (19/04) di Yogyakarta, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir mengemukakan pendapat yang menarik.
Dalam mengungkapkan pandangannya, Rofiq mengemukakan dua kerangka analisis dari diskursus fiqh siyasah. Pertama, gagasan Syihab al-Din al-Qarafi, pemikir Maliki abad ke-13, yang menekankan pembatasan otoritas hukum pemerintah. Kedua, pemikiran Khaled Abou El Fadl, cendekiawan kontemporer, yang menggarisbawahi pentingnya pengakuan negara terhadap pluralitas penafsiran hukum Islam.
Meski berasal dari zaman yang berbeda, kedua kerangka ini bertemu pada satu titik yang sangat relevan: hukum Islam harus diterapkan secara proporsional, serta menghormati keberagaman ijtihad tanpa terkungkung oleh dominasi otoritas politik. Dengan kata lain, wewenang penguasa politik harus dibatasi agar tidak mencampuri ranah ijtihad keagamaan yang menjadi hak komunitas ulama dan masyarakat.
Menurut Rofiq, pandangan al-Qarafi memberikan landasan kuat untuk memisahkan otoritas politik dari penentuan awal bulan Hijriah. Ia menegaskan bahwa penentuan Ramadan atau Syawal tidak mensyaratkan keputusan negara. Individu atau komunitas dapat bertindak berdasarkan sebab syar’I tanpa menunggu perintah resmi dari penguasa. Dengan kata lain, validitas soal awal bulan Hijriah ini menjadi ranah otoritas epistemik bukan otoritas politik.
Sementara itu, Khaled Abou El Fadl menawarkan kritik tajam terhadap negara modern yang cenderung sentralistik dan memonopoli tafsir syariah. Dalam konteks KHGT, Negara harus melindungi hak setiap komunitas untuk mengikuti metode yang diyakini sah, termasuk KHGT atau metode penentuan awal bulan lainnya, selama metode tersebut berpijak pada tradisi hukum Islam yang valid.
Dari kedua kerangka ini, jalan tengah bagi Muhammadiyah tampak jelas: KHGT harus diwujudkan melalui kolaborasi keilmuan internasional, bukan melalui kekuatan politik. Dengan membangun konsensus berbasis sains dan tradisi fikih, Muhammadiyah dapat mempromosikan KHGT sebagai solusi yang paling mashalat bagi umat, bukan sebagai alat rezimintasi.
Negara, dalam hal ini, cukup berperan sebagai pendukung teknis yang menjaga hak-hak para cendekia dan mujtahid. Misalnya, menyediakan infrastruktur untuk dialog antar-ulum atau menyebarkan informasi tanpa mengklaim otoritas atas penafsiran keagamaan. Negara juga cukup berperan hanya dalam lingkup penentuan waktu libur bukan penentuan tanggal.
Otoritas epistemik inilah yang menjadikan hukum Islam berkembang secara organik: tumbuh dari masyarakat, dinamis, dan terbuka terhadap pluralitas penafsiran. Hukum Islam tidak lahir dari dekret penguasa, melainkan dari dialog intelektual yang melibatkan ulama, cendekiawan, dan komunitas.
Harapannya dengan pendekatan ini, KHGT dapat diterima masyarakat luas sebagai solusi paling mashlahat untuk masalah penentuan awal bulan Hijriah. Tentu sjaa bukan karena paksaan politik, melainkan karena kekuatan persuasi epistemiknya. Dengan kata lain, KHGT akan diterima bukan karena kekuatan politik yang memaksakan, tetapi karena daya persuasi ilmunya yang mencerahkan.
Dari persuasi epistemik inilah penerimaannya akan lahir dari rasa percaya, bukan keterpaksaan; dari pengakuan akan keunggulan argumentasi, bukan karena loyalitas terhadap kekuasaan. Inilah wajah hukum Islam yang sesungguhnya: berakar pada ilmu, berkembang dalam dialog, dan tumbuh bersama umat.
Justru di sinilah letak tantangan terbesar KHGT: mampukah Muhammadiyah mempertahankan daya tarik epistemiknya?