MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam podcast terbaru di kanal YouTube Wonderhome Library pada Senin (27/04), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Mohammad Syifa Amin Widigdo, mengupas bab ketiga dari buku Reopening Muslim Minds karya Mustafa Akyol yang bertajuk “Dilema Eutifro Islam”.
Syifa mengangkat pertanyaan mendasar: Apakah sesuatu dianggap baik atau buruk karena perintah dan larangan Tuhan, atau karena sifatnya yang sudah inheren baik atau buruk sehingga Tuhan memerintahkannya?
Syifa memulai dengan analogi sederhana: seorang anak yang dilarang mengambil mainan temannya oleh orang tua. Jika larangan itu hanya berbasis otoritas (“Ikuti perintahku”), anak mungkin taat secara literal, tetapi tidak memahami substansi moral di baliknya.
Akibatnya, ia bisa saja mengambil barang lain, seperti cokelat, dengan alasan tidak ada larangan spesifik untuk itu. Ini yang disebut Akyol sebagai “literalis munafik”—ketaatan tekstual tanpa pemahaman moral. Sebaliknya, jika orang tua menjelaskan alasan larangan, seperti melanggar hak orang lain, anak dapat mengembangkan kesadaran moral yang lebih mendalam.
Penyampaian Syifa ini merujuk pada kisah Nabi Ibrahim, yang dalam tradisi Islam bermimpi mengorbankan anaknya, Ismail. Sebagian mufasir memahami mimpi itu sebagai perintah Tuhan yang harus ditaati.
Namun, kalangan Muktazilah seperti Qadi Abdul Jabbar dan Ibnu Arabi berpendapat bahwa mimpi itu bukan perintah, melainkan persiapan mental atau bahkan kesalahan interpretasi Ibrahim. Menurut mereka, perintah sejati adalah mengorbankan domba, yang menunjukkan bahwa Tuhan tidak menghendaki pengorbanan manusia.
Syifa juga membandingkan dua aliran pemikiran dalam tradisi Islam dan Kristen. Dalam Islam, Muktazilah dan para filsuf menegaskan bahwa akal dan nurani manusia mampu mengenali kebaikan dan keburukan secara objektif, dengan wahyu Tuhan sebagai validasi.
Sebaliknya, Asy’ariyah dan Hanabilah, mirip dengan aliran voluntaris dalam Kristen seperti William of Ockham, berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan hanya diketahui melalui perintah atau larangan Tuhan. Dalam tradisi Kristen, Thomas Aquinas berpendapat bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu karena sifatnya sudah baik, bukan sebaliknya.
Menurut Syifa, inti dari apa yang ingin disampaikannya ini adalah pentingnya memahami hikmah dan alasan di balik perintah atau larangan Tuhan. Tanpa pemahaman ini, ketaatan bisa menjadi mekanis dan kehilangan substansi moral. Ia menyoroti fenomena di beberapa negara Muslim, di mana simbol-simbol keagamaan dipamerkan, tetapi moralitas publik seperti korupsi dan penindasan merajalela.
Untuk menghindari “literalis munafik”, Syifa mengajak umat Islam menggali khazanah pemikiran rasionalis, seperti Muktazilah dan filsuf Muslim, yang menekankan akal sebagai anugerah untuk memahami substansi perintah Tuhan.
Podcast dari Syifa ini mengundang refleksi tentang bagaimana umat beragama memahami perintah ilahi, tidak hanya sebagai aturan, tetapi sebagai panduan moral yang memperkaya kesadaran batin.
“Setiap perintah dan larangan Tuhan memiliki alasan. Akal dan nurani kita diberikan untuk mencari hikmah di baliknya,” tutup Syifa.