MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Khusus Jakarta Ustaz Nur Fajri Romadhon menjelaskan tentang Al-Qur’an dan The Problem of Evil di hadapan jamaah pada Ahad (2/3).
Dalam pemaparannya, Ustaz Nur Fajri membahas isu klasik dalam filsafat teologi yang sering digunakan untuk mempertanyakan eksistensi Tuhan, khususnya dalam pandangan Islam, serta bagaimana Al-Qur’an menawarkan jawaban yang logis dan sinkron dengan keyakinan umat Muslim.
Kajian ini mengambil inspirasi dari pemikiran modern, termasuk karya Profesor Stephen Law, seorang filsuf kontemporer yang dikenal dengan analisisnya terhadap The Problem of Evil.
Menurut Stephen Law, problem ini kerap digunakan oleh kalangan ateis dan agnostik untuk menyangkal keberadaan Tuhan dengan premis logis: Jika Tuhan Maha Kuasa (omnipotent), Maha Mengetahui (omniscient), dan Maha Pengasih (omnibenevolent), mengapa kejahatan, keburukan, dan penderitaan, yang semuanya disebut evil, tetap ada di alam semesta?
“Premisnya sederhana,” ujar Ustaz Nur Fajri, “Tuhan Maha Kuasa, dalam istilah Ahlusunnah Wal Jamaah disebut Al-Qadir dengan sifat qudrah. Tuhan Maha Mengetahui, yaitu Al-Alim dengan sifat ilm. Dan Tuhan Maha Pengasih, yang kita kenal sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim dengan sifat rahmah. Jika Tuhan tahu ada keburukan, mampu mencegahnya, dan bersifat pengasih sehingga tidak menyukai penderitaan, mengapa evil tetap eksis? Kesimpulan mereka: Tuhan tidak ada.”
Namun, Ustaz Nur Fajri menegaskan bahwa argumen ini tidak cukup kuat untuk menegasikan Tuhan dalam pandangan Islam.
“Al-Qur’an memberikan jawaban yang jelas, dan kita bisa melihatnya dalam kisah-kisah nyata yang diabadikan di dalamnya,” katanya, seraya merujuk pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Surah Al-Kahfi ayat 78-82 sebagai contoh konkret.
Kisah Nabi Khidir menjadi inti pembahasan. Dalam cerita tersebut, Nabi Khidir melakukan tindakan yang secara zahir tampak sebagai evil: merusak perahu milik orang miskin, membunuh seorang pemuda, dan membangun tembok tanpa upah di desa yang penduduknya tidak ramah.
Nabi Musa mempertanyakan tindakan tersebut, namun Nabi Khidir kemudian menjelaskan hikmah di baliknya.
“Perahu itu sengaja dilubangi agar tidak dirampas raja zalim, pemuda itu dibunuh karena potensi kejahatannya akan menyesatkan kedua orang tuanya, dan tembok dibangun untuk melindungi harta warisan anak yatim,” jelas Ustaz Nur Fajri.
“Di sini, apa yang tampak sebagai evil ternyata mengandung kebaikan yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya Al-Alim, Al-Qadir, dan Ar-Rahman, tetapi juga Al-Hakim atau Maha Bijaksana,” kata Ustaz Nur Fajri.
Ustaz Nur Fajri menyoroti bahwa konsep The Problem of Evil versi Barat, seperti yang dirumuskan Stephen Law, sering kali mengabaikan sifat kebijaksanaan Tuhan (hikmah).
“Mereka hanya menyebut tiga sifat: omnipotent, omniscient, dan omnibenevolent. Padahal, bagi Muslim, Allah adalah Al-Hakim. Kebijaksanaan-Nya melandasi segala takdir, termasuk keberadaan evil,” tegasnya.
Evil dalam Perspektif Al-Qur’an
Lebih lanjut, Ustaz Nur Fajri menjelaskan bahwa Al-Qur’an secara eksplisit mengakui adanya evil sebagai bagian dari kehendak Allah. Dalam Surah Al-Anbiya ayat 35, Allah berfirman: “Kami akan menguji kalian dengan keburukan (syar) dan kebaikan (khair) sebagai fitnah (ujian), dan kepada Kamilah kalian kembali.”
“Jadi, syar itu ada, tapi bukan tanpa tujuan. Ia adalah ujian, bagian dari kebijaksanaan Allah,” lanjut Ustaz Nur Fajri. Ia juga menyebut bahwa sifat-sifat Allah seperti Ad-Dlarr (Yang Memberi Mudarat), Al-Mumit (Yang Mematikan), Al-Khafid (Yang Merendahkan), dan Al-Mani’ (Yang Mencegah) menunjukkan bahwa efek evil dalam kehidupan manusia tetap berasal dari Allah, namun selalu dilandasi hikmah.
“Islam tidak membutuhkan dualisme seperti agama lain yang memisahkan Tuhan kebaikan dan Tuhan keburukan. Semua takdir, baik khair maupun syar, berasal dari Allah yang Maha Bijaksana,” katanya, merujuk pada hadis riwayat Muslim bahwa segala takdir, dari yang tampak baik maupun buruk, harus diyakini umat Islam.
Menurut Ustaz Nur Fajri, dengan mengakui sifat Al-Hakim, The Problem of Evil menjadi tidak relevan bagi Muslim.
“Jika kita percaya Allah Maha Bijaksana, kita tidak bisa mempertanyakan mengapa evil ada. Menentang kebijaksanaan Allah sama dengan membatalkan keyakinan kita sendiri bahwa Dia sempurna. Bagi Islam, evil bukan kontradiksi terhadap sifat Allah, melainkan bukti kesempurnaan-Nya dalam mengatur alam.”
Ustaz Nur Fajri juga menekankan bahwa syar dan khair sering kali bagaikan dua sisi mata uang.
“Pemaafan adalah khair, tapi ada karena kesalahan yang merupakan syar. Kesabaran adalah khair, tapi lahir dari ujian yang bisa dianggap syar. Ini semua saling berkaitan dalam kebijaksanaan Allah,” terang Ustaz Nur Fajri.
Ustaz Nur Fajri kemudian berpesan bahwa Al-Qur’an tidak hanya menegaskan keberadaan Tuhan di tengah evil, tetapi juga memperlihatkan bahwa segala sesuatu, dari kebaikan hingga keburukan, tidak sia-sia.
“Islam adalah agama yang benar, dan Al-Qur’an telah memberikan jawaban yang tak terbantahkan,” kata Ustaz Nur Fajri.