Imron Rivaldi melempar usul yang langsung mengundang tatapan skeptis dari dua teman kosnya, Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar. Usulan ini ia lempar pada malam hari.
“Gimana kalau besok kita ziarah ke makam KH Ahmad Dahlan?” tanya Imron tiba-tiba.
“Ziarah kubur? Muhammadiyah ‘kan nggak biasa begitu,” sergah Malik, nada malasnya terdengar jelas.
“Iya, daripada dosa, musyrik, mending santai aja di kosan,” timpal Nuriel, setengah acuh.
Imron benar-benar hafal dengan gelagat aneh kedua temannya itu. Mereka ogah ziarah kubur bukan karena urusan teologis, tapi lebih ke alasan pragmatis.
Malik tidak ingin terganggu dalam misinya mengejar episode terbaru One Piece. Sementara Nuriel, dia lagi fokus maksimalin latihan ototnya, mungkin mikir, “Buat apa ke kubur kalo badan belum bugar?”
Dalam Fatwa Tarjih sendiri ziarah kubur merupakan aktivitas yang dibolehkan untuk mengingatkan manusia bahwa kematian pasti akan datang pada setiap manusia.
“Bayangin, kita ke makam pendiri Muhammadiyah, napak tilas perjuangan beliau. Ini bukan ziarah biasa, tapi kayak nyambung sama sejarah.”
Malik melirik Nuriel, lalu mengangguk pelan. “Ya Tuhan, kalau Nuriel ikut, aku juga ikut lah.”
Nuriel akhirnya luluh. “Oke, oke. Tapi aku bawa motor sendiri, ya.”
“Oke gasss!” kata Imron. “Kita siapin dua motor. Nuriel bawa Vario merahnya, aku sama Malik naik Supra X. Kita cari lokasinya di Google dulu.”
Malik langsung membuka ponselnya. “Nih, ketemu. KH Ahmad Dahlan dimakamkan di Makam Karangkajen, Yogyakarta. Dari Tamantirto, Bantul, kayaknya sekitar 25 menit kalau lancar.”
Pagi harinya, ketiganya memulai petualangan dari Tamantirto, Bantul. Matahari baru terbit, menyelinap di balik awan tipis, dan angin sepoi-sepoi menyapa wajah mereka. Nuriel memimpin dengan Vario merahnya, lincah meliuk di jalanan. Imron mengendarai Supra X, sementara Malik di belakangnya sibuk menyesuaikan posisi duduk.
“Helmku kok kekecilan, sih?” keluh Malik.
Imron tidak mempedulikannya karena tidak terlalu terdengar.
Rute awal membawa mereka melintasi Jalan Tamantirto yang masih dikelilingi sawah hijau membentang, sesekali terlihat petani dengan caping bambu. Namun, begitu masuk ke kawasan Kasihan, lalu lintas mulai padat. Mereka melewati perempatan Ring Road Selatan dengan hati-hati, sesekali berhenti karena lampu merah.
“Mron, ini jalannya lurus terus apa belok?” tanya Malik sambil melirik ponselnya.
“Lurus dulu, nanti belok kiri ke arah Godean, trus masuk ke Karangkajen,” jawab Imron sambil fokus menyetir. “Tenang, aku udah hapal rutenya dari Google Maps.”
Nuriel, yang mendengar dari depan, berteriak, “Tapi jalannya kecil banget nanti, ya? Aku takut motornya nyangkut!”
Benar saja, begitu masuk ke kawasan permukiman Karangkajen, jalanan menyempit drastis. Mereka memilih rute sisi utara melalui gang sempit yang nyaris tak muat untuk mobil. Motor Supra X sempat tersenggol tembok, membuat Malik panik.
“Imron, pelan-pelan! Ini motorku hampir baret!”
“Tenang, Lik, bentar lagi sampe,” ujar Imron.
Nuriel, yang lebih lincah dengan Vario-nya, sudah sampai duluan di pintu utara Pemakaman Islam Karangkajen. “Ayo, cepet! Aku udah lihat papan petunjuknya!” serunya.
Akhirnya, mereka sampai di pintu utara Pemakaman Islam Karangkajen. Ketiganya lalu masuk serta kompak mengucap salam ke seluruh ahli kubur begitu masuk area pekuburan. Alas kaki juga mereka lepas, tanda hormat ke tempat ini yang sudah diajarkan Rasulullah Saw.
Kompleks kuburan ini terselip di tengah permukiman padat, jauh dari kesan mewah. Tak ada bangunan mencolok atau hiasan semacam foto-foto penghuni pemakaman, cuma suasana polos yang bikin orang langsung ingat tujuan asli ke sini.
Begitu masuk, sebuah plakat di sisi timur langsung mencuri perhatian mereka: “Makam Pahlawan Nasional KH Ahmad Dahlan”.
Makamnya sederhana. Hanya terdiri cor-coran pendek berisi kerikil, dikelilingi rumput jepang yang terawat. Di barisan yang sama, ada makam KH Ahmad Badawi dan KH Ibrahim, dua mantan Ketua PP Muhammadiyah, juga KH Noor, penghulu Keraton, serta Aisyah Hilal, tokoh Suara Aisyiah. Tak jauh, terpisah beberapa meter, ada makam KH AR Fakhruddin dan KH Azhar Baasyir.
Begitu sampai di depan makam KH Ahmad Dahlan, mereka tahu untuk tidak meminta-minta kepada kuburan dan menjadikannya wasilah kepada Allah.
Yang mereka lakukan ialah berdiri dengan sopan, tak ada yang nekad duduk di atas kuburan. Terus, mereka mendoakan ahli kubur yang ada di hadapan mereka itu dengan khusyuk, suasananya benar-benar penuh penghormatan, serta tidak berlebih-lebihan.
Berdiri di depan makam KH Ahmad Dahlan, Imron kebayang suasana duka yang menyelimuti umat Islam, terutama warga Muhammadiyah, saat Sang Pencerah dimakamkan pada 23 Februari 1923. Kontribusinya buat umat dan bangsa memang luar biasa, tak bisa diukur. Dari membangun fasilitas sosial, mencerahkan kehidupan beragama, hingga mengusir penjajah secara elegan.
Pikiran Imron melayang, merasa kecil di hadapan jejak besar ulama itu.
“Coba kalau Mbah Dahlan masih hidup, mereka kecewa nggak sih sama kelakuan kita?”
“Emang kelakuan apa yang bisa bikin Mbah Dahlan kecewa sama kita, Mron?”
Imron melirik Malik, yang berdiri di sampingnya. Kebiasaan Malik marathon One Piece sampai begadang, sering menunda salat, dan membiarkan kasur serta bantalnya menghitam seperti harta rampasan perang membuat Imron geregetan. Baginya, itu jauh dari semangat belajar dan perjuangan yang ditunjukkan KH Ahmad Dahlan sejak dulu.
Tapi Malik tidak terima dengan penghakiman seperti itu. Ia tidak tinggal diam. Ia tahu Imron suka menggebu-gebu bicara soal ide besar, membangun peradaban, mencari ideologi terbaik untuk Indonesia, tapi semua itu cuma jadi gairah intelektual khas anak muda saja. Imron juga lebih sering tenggelam di dunia maya, debat tak jelas, praktiknya nihil. Tak sebanding dengan apa yang sudah diperbuat KH Ahmad Dahlan.
Imron dan Malik kemudian saling pandang, bercermin dari celaan masing-masing. Suasana di depan makam tiba-tiba jadi seperti panggung introspeksi dadakan.
“Tapi mungkin KH Ahmad Dahlan justru bangga lho sama kita,” kata Nuriel tiba-tiba memecah keheningan.
“Kenapa begitu, Riel?”
Nuriel menarik napas, lalu menjelaskan dengan tenang. KH Ahmad Dahlan sudah wafat satu abad lalu. Dalam kurun waktu itu, dunia, terutama Indonesia, sudah mengalami macam-macam peristiwa. Kekuatan politik berubah, struktur sosial bergeser, perilaku masyarakat naik-turun tak menentu. Banyak aliran dan gerakan lahir, ada yang ambruk, ada yang bertahan.
“Tapi pikiran-pikiran KH Ahmad Dahlan tetap hidup, melewati segala rintangan, sampai ke tangan kita sekarang. Bahkan kita ini jadi anak ideologis beliau,” lanjut Nuriel. “Sebagai anak, mungkin beliau malah bangga sama kita, apa adanya.”
Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke Tamantirto. Ziarah kali ini membakar kembali semangat mereka untuk meneruskan pikiran-pikiran mencerahkan dari KH Ahmad Dahlan. Tentu saja, mereka ingin melakukannya dengan cara yang relevan, disesuaikan sama konteks kekinian.
Begitu sampai di tempat parkir, motor-motor sudah pada rapi berjejer. Begitu mau narik kunci dari stang, Malik yang duduk di belakang Imron merasakan indahnya melakukan eksplorasi spiritual ini. Dalam nada yang tenang, tiba-tiba ia nanya:
“Next lagi kita ziarah ke kuburan mana?”
#KontrakanImron