Imron Rivaldi tak pernah menyangka, niatnya berburu takjil di Masjid Jogokariyan sore itu justru membawanya pada kejutan yang tak terduga. Bersama dua teman kosannya, Nuriel Al-Kautsar dan Malik Senja Ramadan, ia memulai petualangan kecil dari kosan sederhana mereka di Tamantirto, Kasihan, Bantul.
Seperti biasa, Nuriel dengan penuh percaya diri menggeber Vario merahnya yang sedikit berderit tapi tetap tangguh, sementara Imron dan Malik berbagi jok di Supra X tua yang selalu setia mengantarkan mereka ke mana saja.
Perjalanan dari Tamantirto ke Jogokariyan tak terlalu jauh. Mereka meliuk di jalanan kecil yang ramai oleh pedagang pinggir jalan, menyelinap di sela-sela gerobak sayur dan motor lain yang tak kalah bersemangat menyambut buka puasa. Sawah yang mulai menguning terhampar di kanan-kiri, sesekali terpotong oleh pemandangan truk tua yang mogok, memaksa mereka memperlambat laju.
Angin sore berhembus sepoi-sepoi, membawa aroma daun pisang bakar dan gorengan yang membuat perut Imron bergetar. Puasa seharian mulai terasa.
“Cepet, Mron, perutku udah nyanyi nih!” teriak Malik dari belakang, tangannya iseng memukul helm Imron pelan.
“Bentar lagi kita sampai, Lik! Selow.”
Begitu tiba di kawasan Kampoeng Ramadan Jogokariyan, keramaian pun tak terelakkan. Ribuan orang, dari mahasiswa berkaos lusuh hingga keluarga kecil dengan anak-anak ceria, berdesakan di jalanan menuju masjid. Yang menarik, tak hanya umat Muslim yang hadir; beberapa wajah non-Muslim terlihat ikut berbaur, tersenyum sambil mengantre takjil, seolah Ramadan di sini adalah milik bersama.
Di sisi jalan, para pedagang UMKM berjejer rapi, memamerkan takjil yang bikin Imron menelan ludah. Ada cilok kenyal dengan bumbu kacang pedas, pentol bakar yang asapnya menggoda, sempol ayam garing, batagor renyah, es dawet yang dingin menyegarkan, hingga kolak pisang yang manis legit.
Pemandangan ini sudah seperti surga kecil bagi pecinta street food Indonesia.
Kampoeng Ramadan Jogokariyan, yang kini memasuki tahun ke-21, memang tak pernah setengah-setengah. Setiap hari sejak pukul 16.00 WIB, lebih dari 350 pedagang kecil-menengah membuka lapak, mengubah jalanan jadi lautan kuliner yang ramai.
Saat Imron sibuk memilih sempol ayam yang masih mengepul panas, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang dikenalnya. Dinda Hafsah Mewangi, juniornya di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), berjalan mendekat. Jilbabnya yang sederhana tergerai rapi, senyumnya manis seperti biasa, dan tangannya melambai kecil ke arah Imron.
Jantung Imron langsung berdetak kencang. “Eh, ini beneran Dinda?” gumamnya dalam hati, buru-buru membalas lambaian itu dengan senyum yang agak kaku. Ia sudah siap menyapa, bahkan kalimat “Lama nggak ketemu, Din!” hampir terucap.
Tapi tiba-tiba, seorang cewek muncul di sisi Dinda, tersenyum lebar sambil mengobrol dengannya. “Oh, temennya,” batin Imron, menelan kekecewaan karena sudah kegeeran duluan.
Ternyata, Dinda juga ingin membeli sempol di pedagang yang sama. Mereka pun berdiri bersebelahan, saling melemparkan senyum respect, suasana canggung tapi hangat menyelimuti.
“Masih suka sempol, ya, Kak?” tanya Dinda tiba-tiba, suaranya lembut.
Imron tersenyum kikuk, “Iya, Din, nggak bisa nolak yang kayak gini,” jawabnya, berusaha santai meski dalam hati deg-degan.
Imron kemudian melihat ke kanan dan ke kiri. Ia samasekali tidak melihat pergerakan Nuriel dan Malik. Entah ke mana kedua makhluk ini pergi. Mungkin sudah terserap keramaian atau asyik berburu takjil di sudut lain. Teman Dinda pun tiba-tiba pamit buru-buru undur diri, meninggalkan Imron dan Dinda berdua di tengah hiruk-pikuk.
Mereka akhirnya berjalan bersama, langkah mereka pelan menuju masjid.
“Jadi, Kak Imron ke sini tiap tahun?” tanya Dinda, memecah keheningan.
Imron mengangguk, “Iya, nggak pernah absen. Kamu sendiri?”
“Baru kedua kalinya, sih. Tapi rame banget, ya, kayak pasar malam.”
“Iya, cuma di pasar malam yang bikin perut kita kenyang sama hati seneng.”
Apaan sih, ucap Dinda dalam hati.
Puncak petualangan ini adalah buka bersama di Masjid Jogokariyan. Begitu tiba di gerbang masjid ini, Imron dan Dinda langsung disambut pemandangan bak negeri dongeng. Hiasan anyaman bambu berbentuk lampion dan bendera merah putih di bawahnya bergoyang pelan di atas jalan, memantulkan cahaya kuning keemasan yang hangat dan memikat.
Tak hanya hiasannya yang estetik, masjid sederhana itu juga menyediakan tak kurang dari 3.800 porsi makanan tiap hari untuk jamaah. Dengan total tiap hari menghabiskan dana sebesar Rp.52 juta, ini sudah seperti pesta rakyat yang sesungguhnya.
Menu-menunya luar biasa beragam dan berganti setiap hari. Ada gulai sapi yang kental harum, sop kembang waru yang segar, chicken katsu renyah, tongseng ayam gurih, rendang daging giling yang lumer, bestik sapi ala Jogja, semur rolade ayam sedap, hingga soto sulung yang hangat.
“Keren abis, Rp.52 juta udah bisa jadi pahlawan buat 3.800 orang yang buka puasa! Bayangin kalau triliunan yang biasa dimaling para koruptor itu dialihin buat bikin rakyat sejahtera, wah, bisa buat apa aja tuh?” tanya Imron sambil jalan kaki.
“Bisa aja semuanya jadi gratis. Pendidikan gratis, kesehatan gratis, masuk Polisi juga gratis. Mungkiiin,” jawab Dinda.
“Biaya nikah kita juga mungkin ditanggung Kemenag.”
“Nikahan siapa?”
Imron tidak mempedulikannya. Ia merasa sudah keceplosan. Kini keduanya duduk bersebelahan di pinggir jalan dekat masjid, menunggu adzan untuk berbuka puasa. Selain jajanan takjil, masing-masing dari mereka juga sudah mengantongi sepiring semur rolade ayam.
“Enak banget ya suasananya,” kata Dinda pelan.
Imron mengangguk, “Iya, apalagi kalau… eh, maksudnya sama temen gitu,” jawabnya buru-buru, takut keceplosan.
Dinda cuma tersenyum, “Kakak mah gitu.”
Sebelum adzan berkumandang, seorang ustaz naik podium untuk memberikan ceramah singkat. Pakaiannya sangat gaul. Tidak ada jubah atau koko. Kopiah hitam kecil di kepalanya jadi satu-satunya tanda “keustazan”, tapi gaya santainya kayak anak muda yang baru pulang nongkrong. Suaranya terdengar renyah, penuh humor, khas penceramah yang bolak-balik di FYP TikTok.
“Di sini, saya lihat banyak yang datang berpasang-pasangan. Eh, tapi ada juga yang masih single, tapi buka puasanya bareng kayak pasangan!” sorak sang ustaz, disambut tawa jamaah.
Imron dan Dinda saling pandang, wajah mereka memerah.
“Mending cepet nikah aja, biar tiap Ramadan nggak cuma buka bareng, tapi sahur bareng juga!” lanjut ustaz itu, dan tawa makin riuh.
Imron cuma bisa garuk-garuk kepala, senyumnya lelet-lelet keluar karena malu tapi entah kenapa hati kecilnya senang.
Dinda menunduk, tangannya sibuk memperbaiki jilbab sambil tersenyum tipis, pipinya merona. “Ustaznya lucu banget,” gumam Dinda pelan.
“Iya, lucu tapi bikin jantungan,” balas Imron.
Mereka tertawa kecil bareng, rasa malu yang mungkin bercampur bahagia.
Di tengah suara adzan yang syahdu dan aroma makanan yang menggoda, Imron diam-diam berpikir, mungkin, ini Ramadan paling berkesan yang pernah ia jalani, dan siapa tahu, ucapan ustaz gaul tadi jadi doa yang diamini hatinya.
“Enak banget masakannya, Kak,” kata Dinda, matanya berbinar. “Panas sih, tapi worth it.”
“Iya, Din. Kayaknya aku bakal minta resep ke ustaz tadi.”
“Emang ustaznya buka catering, Kak?”
“Bisa jadi! Orang gitu mah serba bisa, termasuk ‘memasak’,” balas Imron.
Setelah menikmati takjil dan hidangan buka puasa, serta salat maghrib, Imron dan Dinda berpisah dengan senyum canggung, meninggalkan jejak tawa dan aroma rolade ayam yang masih tercium di udara. Langit Jogokariyan sudah gelap, lampion bambu berkelap-kelip seperti menutup cerita sore itu.
Tiba-tiba, Malik dan Nuriel muncul dari keramaian. Mereka mengajak pulang. Dengan langkah gontai, Imron mengangguk. Tapi saat tangannya buru-buru merogoh saku celana, ia menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada: selembar struk sempol, tapi bukan kunci motornya.
#KontrakanImron