Istilah wali untuk menggambarkan orang alim, suci, dan dekat dengan kesaktian di kalangan warga Muhammadiyah jarang digunakan. Istilah wali sering kali ditemukan dan dianggap lebih dekat di tradisi Nahdlatul Ulama (NU).
Meski di Indonesia lebih populer Walisongo – selain Wali Band, ternyata ada juga Wali Rongpuluh atau yang dalam bahasa Indonesia artinya Wali 20 yang berasal dari Muhammadiyah Surabaya, istilah wali 20 ini muncul pada 1 Juni 1927 di Rumah Kiai Mas Mansur, kawasan Kalimas Udik, Nyamplung, Surabaya.
Dalam buku “Babad Muhammadiyah Surabaya 1921-2021” yang ditulis Andi Hariyadi. dkk terbit pada 2023 disebutkan bahwa Wali Rongpuluh ini merupakan pamong Cabang Muhammadiyah dan ketua Grup Muhammadiyah Surabaya yang dikumpulkan oleh Mas Mansyur di rumahnya.
Kiai Mas Mansur sebelum menjadi Ketua Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, beliau adalah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya pertama sesuai dengan Surat Ketetapan Hoofdbestuur Muhammadiyah No.4/1921 pada tanggal 1 November 1921. Setelah resmi menjadi Cabang Muhammadiyah, Cabang Muhammadiyah Surabaya perkembangan dengan pesat.
Cabang Muhammadiyah Surabaya mencatatkan dirinya dalam sejarah perkembangan pelayanan kesehatan di Muhammadiyah, yakni dengan mendirikan Klinik Muhammadiyah di Jl. Sidodadi No. 57 yang diresmikan pada 14 September 1924 dengan tokoh utama dr. Soetomo.
Klinik Muhammadiyah di Surabaya ini menjadi Amal Usaha (AUM) bidang kesehatan kedua setelah Bahagian atau Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) mendirikan Klinik Muhammadiyah pertama di Yogyakarta pada 1923, dan menjadi cikal bakal berdirinya ratusan rumah sakit dan klinik Muhammadiyah se-Indonesia.
Situasi Pasca Perang Dunia I dan Lahirnya Wali Rongpuluh
Pasca Perang Dunia I, kapitalisme global mengalami ketidakstabilan dimulai sejak 1917 sampai 1923 yang memicu gelombang perlawanan rakyat. Depresi ekonomi global saat itu merembet sampai ke Hindia Belanda, dengan meletusnya pemberontakan di Jawa pada 1926 dan Sumatra Barat pada 1927.
Tak pelak, situasi genting itu meningkatkan kecemasan Pemerintah Hindia Belanda dengan memperketat pengawasan terhadap kelompok-kelompok bumiputera yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaannya. Cabang Muhammadiyah Surabaya yang baru seumur jagung pun terkena imbasnya.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Hindia Belanda untuk menggembosi kekuatan-kekuatan kelompok berkepentingan, salah satunya adalah Muhammadiyah yang saat itu baru bisa bernafas lega setelah keluarnya SK. No 40 pada 16 Agustus 1920 yang menyatakan Muhammadiyah boleh berkembang di luar Yogyakarta.
Merespon situasi genting itu, Mas Mansur sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah mengambil inisiatif dengan memanggil dan mengumpulkan Pamong Muhammadiyah Cabang dan Grup Muhammadiyah Surabaya di rumahnya pada 1 Juni 1927 untuk membangun komitmen berorganisasi dan merancang strategi untuk keluar dari krisis.
Pertemuan yang awalnya diikuti lebih dari 20 orang berjalan cukup dinamis, sehingga sampai larut malam belum mencapai kata mufakat dan final. Alhasil banyak anggota yang izin meninggalkan lokasi untuk pulang, sehingga hanya menyisakan 20 orang saja.
Dengan 20 orang sisa, Kiai Mas Mansur mendeklarasikan kesetiaan menjalankan dakwah Muhammadiyah dalam situasi apapun dengan 20 orang itu. Sebelum menyampaikan deklarasi, Kiai Mas Mansur memulainya dengan sumpah yang menggetarkan dan dikenang berbunyi.
“Walaupun tinggal seorang, saya dan istri, saya akan tetap meneruskan Muhammadiyah selama hayat dikandung badan, syariat Muhammad SAW yang dianjurkan Muhammadiyah tetap saya bela!”.
Disebutkan dalam buku “Babad Muhammadiyah Surabaya 1921-2021” (2023) nama-nama dari ke-20 orang itu adalah KH Mas Mansur (Kampung Baru Sawahan), Kiai Usman, Mat Yasin Wisatmo (Kaliasin Pompa), Wondowidjojo (Plampitan), Tjiptoredjo (Grogol), Mas Getong (Pandean), Hardjodipuro (Bubutan), M. Saleh Ibrahim (Kedung Sroko), Mas Idris K.S dan HIS Soemoredjo (Kedung Rukem), Abdul Bari, HA Rahman Utsman (Ketapang Ardiguna), Saleh Cilik (Bibis), Yatiman (Genteng), Satiman (Genteng), Adjar Sunyoto (Jl. Kunti), M. Badjuri, H. Muhammad Oerip (Temenggungan), Sumoatmodjo (Kedung Rukem), dan Martodjojo (Wonorejo).
Wali Rongpuluh ini menjalankan misi dakwah Muhammadiyah dengan baik, salah satunya dengan mengentaskan masalah ekonomi yang menimpah Klinik Muhammadiyah dan HIS Muhammadiyah Surabaya – yang sempat tidak mampu membayar gaji para guru. Namun persoalan itu akhirnya bisa diatasi.