MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL – Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Muttaqin menegaskan Teologi Islam Wasathiyah Berkemajuan merupakan gabungan antara Teologi Al-Ma’un dan Teologi Al-‘Ashr.
“Dari dua legasi ini sebenarnya Teologi Islam Wasathiyah Berkemajuan gabungan antara Teologi Al-Ma’un yang pro kepada mustad’afin dengan action-action-nya itu. Dan Teologi Al-‘Ashr yang di situ lebih bagaimana kita mengelola amal usaha secara professional. Itu semua dipakai untuk melawan tadi hedonisme, liberalisme, komunisme, dalam rangka mencapai peradaban utama, baldatun toyyibatun warobbun ghofur dan kita menjadi khairu ummah atau ummatan wasathan,” kata Muttaqin dalam Pengajian Ramadan 1446 H PP Muhammadiyah bertajuk “Pengembangan Wasathiyah Islam Berkemajuan: Tinjauan Teologis di Ballroom Student Dormitory Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Ahad (2/3).
Menurutnya, secara posisi, Muhammadiyah berada pada posisi tengahan, yakni terletak di antara ekstrim liberal dan esktrim kiri.
“Tapi kalo kita gali dari sejarah hidup Kiai Dahlan dengan dua legacy saja. Legacy QS Al-Ma’un yang kemudian mendorong tafsir amali yang luar biasa banyaknya itu, membela kaum mustad’afin, membela kaum tidak punya, kemudian memunculkan panti asuhan, memunculkan klinik-kilinik itu juga legacy Al-Ma’un,” imbuhnya.
“Surat Al-‘Ashr juga menjadi legasi Kiai Dahlan. Dalam sejarahnya, bahkan Kiai Dahlan mengajar surah Al-‘Ashr lebih lama daripada Al-Ma’un. Kalo Al-Ma’un di angka 3-4 bulan, Al-‘Ashr diajarkan sampai 7 bulan,” ucap Muttaqin.
Menurutnya, inilah yang membedakan teologi Islam Wasathiyah dengan varian-varian Teologi Islam lainnya, yakni varian islam kiri, islam transformatif, islam nusantara, islam liberal maupun varian teologi Islam lainnya.
Mengutip Risalah Islam Berkemajuan, Muttaqin menjelaskan yang disebut dengan Wasathiyah itu bermakna posisi tengah di antara dua kutub, yakni ultra-konservatisme. Selaras dengan itu, wasathiyah menuntut sikap seimbang (tawazun) antara kehidupan individu dan masyarakat, lahir dan batin, serta duniawi dan ukhrawi.
Wasathiyah tidak mengarah pada toleransi terhadap sekularisme politik dan permisivisme moral. Karena islam adalah agama wasathiyah, sehingga harus menjadi ciri yang menonjol dalam berpikir dan bersikap bagi umat islam. (adit)