Bersama ratusan pengendara motor lainnya, Imron Rivaldi terjebak di lampu merah. Lampu itu seolah tak kunjung berubah warna. Di depan mereka, jalanan tengah diperbaiki. Debu beterbangan, suara mesin bor berdengung nyaring, dan para pekerja dengan helm oranye sibuk mengaduk semen.
Imron melirik ke samping, melihat wajah-wajah lelah sesama pengendara yang tampak pasrah menanti giliran melaju. Ada yang menguap, ada yang sibuk membetulkan helm, dan ada pula yang asyik mengecek ponsel. Semua aktivitas ini dilakukan untuk mengabaikan rasa gerah di tengah cuaca panas.
Di belakang Imron, duduk Malik Senja Ramadan. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju Tlogo Putri, Kaliurang. Tujuan mereka ke sana untuk menghadiri acara Malam Keakraban (Makrab) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Acara itu digadang-gadang akan jadi momen seru penuh canda tawa, diskusi hangat, dan tentu saja, api unggun yang jadi penutup malam.
Imron sudah membayangkan dirinya duduk melingkar bersama teman-teman, mendengarkan cerita-cerita inspiratif, dan sesekali mencari perhatian juniornya di IMM, Dinda Hafsah Mewangi. Tapi, semua bayangan indah itu masih jauh di ujung horizon, karena kini mereka masih terjebak di lampu merah yang tak kunjung hijau.
Di atas motor Supra X itu, Imron mulai gelisah. Bukan hanya karena lampu merah yang terasa abadi atau debu jalanan yang mulai mengotori celananya, tapi juga karena ulah pengendara motor di depannya.
Seorang bapak-bapak berusia 40 tahunan, berhelm warna merah mencolok dan mengenakan jaket biru dongker, asyik menghisap rokok kreteknya. Asap putih keabu-abuan itu melayang bebas, tak peduli arah angin, dan menyebar ke mana-mana seperti kabut nakal yang tak tahu aturan.
Imron mengerutkan kening. Ia bisa memaafkan panasnya matahari atau bau aspal yang menyengat, tapi asap rokok yang seenaknya mengganggu orang lain, itu sudah kelewatan.
Di sekitar mereka, dampak asap itu terasa nyata. Asap itu menerpa wajahnya, membuat matanya perih. Ia melihat sekeliling. Seorang anak kecil di boncengan motor sebelahnya terbatuk-batuk kecil, kakek tua yang berhenti di sampingnya melambaikan tangan untuk mengusir asap, dan seorang ibu hamil menutup hidung dengan kerudungnya.
Malik tak kalah kesalnya. Ia juga tampak berusaha mengusir asap yang melayang tak punya adab itu. Saat Imron mengajaknya untuk menegur bapak itu, ia tak ingin memancing keributan di tengah keramaian. “Udah biarin aja, Mron! Biariiin.”
Terlambat. Imron bukan tipe orang yang bisa diam kalau kesal. Baginya, para perokok bebal yang tak punya adab seperti itu perlu diberi pelajaran. Ia turun dari motornya sejenak, lalu melangkah dari Supra X-nya menuju bapak-bapak nir-adab itu.
Dengan langkah tegas, Imron mendekati bapak itu, tangannya sudah mengepal di saku celana, siap memulai keributan kalau itu perlu. Dalam hati, ia sudah menyusun kalimat pedas, “Pak, rokoknya matiin dong! Orang lain pada terganggu, ga liat apa?!”
Jika bapak itu balas menatap dengan mata tajam, mungkin membentak, dan dari situ bakal jadi adu argumen di tengah jalanan ramai. “Ribut-ribut sekalian ah, bodo amat. Kesel gua!” gumam Imron dalam hati sambil melangkah tegas.
Saat Imron tinggal dua langkah dari bapak itu, tiba-tiba lampu merah berganti hijau. Mesin motor mulai menderu bersahutan, dan si bapak berhelm merah dan berjaket biru dongker itu langsung tancap gas, melaju lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun.
“Sialan, kabur duluan,” gerutu Imron sambil kembali ke motor. Ia kembali Supra X-nya, langsung melesatkan gas perlahan, meluncur menuju Tlogo Putri, Kaliurang.
Setelah perjalanan yang terasa panjang, Imron dan Malik akhirnya sampai di Tlogo Putri. Udara sejuk lereng Merapi menyambut mereka, kontras dengan panas dan debu jalanan tadi. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi, angin berdesir pelan membawa aroma daun kering, dan suara burung berkicau samar di kejauhan.
Area Makrab juga sudah ramai. Tenda-tenda kecil berjejer, lampu-lampu petromaks berderet rapi, dan puluhan mahasiswa IMM bergerombol, sibuk mengobrol. Beberapa panitia mondar mandir mempersiapkan acara, sebagian dari mereka menyiapkan kayu untuk api unggun.
Imron meletakkan helmnya, matanya menyapu kerumunan, lalu berhenti pada sosok Dinda Hafsah Mewangi. Perempuan itu sedang berdiri di dekat tenda utama, sibuk berbincang dengan temannya. Tawa kecilnya terdengar samar di antara hiruk-pikuk.
Tiba-tiba, Dinda menoleh. Satu detik kemudian mata mereka bertemu. Senyum tipis muncul di wajah Dinda, manis dan hangat.
Imron langsung salah tingkah. Aura Dinda yang memancar dari kecerdasannya, ketenangannya, dan wangi parfumnya yang khas, membuat jantungnya berdegup kencang. Imron buru-buru mengalihkan pandangan ke arah pohon pinus, pura-pura sibuk menyesuaikan jaketnya, padahal wajahnya sudah memerah.
Tapi kegelisahan Imron tak berhenti di situ. Acara selanjutnya adalah diskusi etika kebangsaan, dan pematerinya, Pak Agus Ashabul Kahfi, belum juga datang. Sebagai ketua IMM di kampusnya, Imron merasa bertanggungjawab menjaga suasana tetap hidup. Sambil menunggu, ia memantik pembicaraan.
“Hari ini saya ketemu kasus menarik di jalan,” kata Imron, lalu menceritakan pengendara perokok berhelm merah serta berjaket biru dongker tadi siang, tentang asap yang mengganggu anak kecil, ibu hamil, dan kakek tua.
“Menurut kalian, etis ga sih merokok di jalanan kayak gitu?”
Diskusi langsung ramai. Terjadi pro dan kontra.
Imron kemudian mengutip argumen hukum, “Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 115 ayat (1), bilang kawasan tanpa rokok itu termasuk tempat umum. Jalanan kan tempat umum, ya ga sih?”
Sebagai mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Dinda yang duduk di seberang Imron, mengangguk, lalu menimpali, “Secara kesehatan, itu jelas bahaya. Asap rokok mengandung ribuan zat kimia, apalagi kalau dihirup anak kecil atau ibu hamil. Aku hafal banget ini.” Suaranya tenang tapi tegas, membuat Imron diam-diam kagum.
Pramono Arik, junior mereka yang dikenal religius, ikut bersuara, “Dalam Fatwa Majelis Tarjih, rokok udah dianggap haram karena merusak tubuh. Apalagi di jalanan, ruang umum, mungkin haramnya bisa berlipat ganda. Merugikan diri sendiri, juga orang lain.” Argumennya mengalir lugas, disambut anggukan setuju dari yang lain.
Diskusi selesai dengan kesepakatan bulat: merokok di jalanan tak bisa dibenarkan, baik dari hukum, kesehatan, maupun agama. Mereka bertekad, kalau ketemu pengendara perokok sembarangan lagi, bakal langsung ditegur dengan cara yang santun tapi tegas.
Imron tersenyum kecil, puas sekali. Semua orang harus sadar bahwa merokok di jalanan itu terlarang karena sangat mengganggu dan berbahaya. Matanya sesekali melirik Dinda, yang kini sibuk mencatat sesuatu di buku kecilnya.
Malam semakin larut, dan acara puncak tiba: api unggun dinyalakan. Nyala api menari-nari, memancarkan kehangatan yang kontras dengan udara dingin Kaliurang. Semua duduk melingkar, gitar mulai dipetik, dan lagu-lagu ringan mengalun.
Imron duduk di sisi lingkaran, sesekali melirik Dinda yang tertawa kecil bersama teman-temannya. Cahaya api unggun memantul lembut di wajahnya. Ia tersenyum dalam hati, menikmati ketenangan malam hingga ponselnya tiba-tiba bergetar.
Imron mengibaskan ponsel dari saku, membaca nama di layar: “Pak Agus Ashabul Kahfi”. Ia mengernyit, heran kenapa Pak Agus menelepon di waktu seperti ini, apalagi setelah absen dari sesi diskusi. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya.
“Assalamualaikum, Imron.”
“Waalaikumsalam, Pak.”
“Maaf tadi ada sedikit kendala jadi ga bisa ngisi diskusi. Bapak mau ke sana, masih bisa ya?”
“Masih, Pak, masih,” jawab Imron sambil melirik jam, baru pukul sembilan malam.
“Bagus. Bapak udah deket, sepuluh menit lagi sampe. Tunggu ya.”
Imron mengangguk pada dirinya sendiri, lalu kembali fokus ke api unggun.
Tak lama, suara motor terdengar dari kejauhan, mendekat ke area Makrab. Seorang pria turun dari motornya, melepas helm merahnya, dan berjalan mendekati lingkaran api unggun. Cahaya api menerangi wajahnya. Bapak-bapak itu mengenakan jaket biru dongker.
“Assalamualaikum, anak-anak! Maaf telat, tadi motor Bapak mogok,” sapa Pak Agus.
Melihat helm merah dan jaket biru dongker yang dikenakan Pak Agus, Imron dan Malik saling menoleh.
Para mahasiswa juga mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka beralih dari Pak Agus ke Imron, lalu kembali lagi. Keramaian kecil itu tiba-tiba hening seketika ketika Pramono Arik, dengan keberanian khas junior yang polos, mengangkat tangan dan bertanya:
“Pak, emang masih ada ya orang Muhammadiyah yang merokok?”
#KontrakanImron