Imron Rivaldi baru saja nonton potongan video TikTok yang membuat hatinya bergetar. Seorang ibu mengenakan mukena lengkap tengah salat di dalam gerbong kereta. Gerakannya sempurna, rukuk, sujud, dan duduk di antara dua sujud dilakukan dengan khusyuk, meskipun tubuhnya harus menjaga keseimbangan di antara guncangan rel.
Di kolom komentar, perdebatan sengit terjadi. Ada yang mengagumi keteguhan sang ibu. “MasyaAllah tabarakallah, istiqamah sekali!” tulis seorang netizen penuh haru.
Ada pula yang merasa tindakan itu berlebihan. “Ya Allah, ini sih maksa, gimana kalau kereta ngerem mendadak?” balas yang lain.
Namun, pujian tampaknya lebih mendominasi. “Bahkan dalam perjalanan pun tetap menjaga salatnya. Semoga Allah merahmati,” komentar akun lain dengan emotikon tangan menengadah.
Saat Imron menggulir ke video berikutnya, ia menemukan sebuah ceramah yang seakan memberikan justifikasi teologis bagi tindakan si ibu tadi. Sang penceramah berkata dengan penuh semangat, “Di mana pun kita tinggal, jangan sampai tinggalkan ajaran Islam. Gigitlah sunah dengan gigi geraham!”
Imron tertegun. Ah, mungkin itulah maksudnya. Tetap bertahan, tetap teguh, bahkan jika kondisi tidak memungkinkan.
Menggigit sunah dengan gigi geraham. Itu yang dibutuhkan sekarang. Dunia sudah terlalu modern. Teknologi semakin berkembang. Tapi spiritualitas telah lama menghilang. Jiwa yang kosong ini harus diisi dengan ajaran Islam. Dengan laku amal yang lebih total, lebih terasa perjuangannya.
Demi menjemput spiritualitas yang hilang itu, Imron memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Barat. Para sufi biasa menjadi musafir untuk mencari kebenaran. Tidak heran bila gambaran umum tentang sosok sufi selalu didominasi oleh lelaki tua lusuh dengan pakaian compang-camping.
Namun, Imron tidak seberani para sufi agung adihulung. Ia hanya dalam perjalanan pulang kampung.
“Aku cabut dulu, ya,” kat Imron pamit.
“Mau ke mana?” tanya Malik Senja Ramadan, teman kosnya.
“Mencari spiritualitas yang hilang akibat modernisasi,” jawab Imron.
“Sedaaap!”
Pukul 13:15 WIB Imron sudah duduk di Kereta. Dari kosannya di Yogyakarta, Imron sengaja tidak sahur. Biar puasanya benar-benar terasa. Ia bahkan menolak tawaran penumpang lain berupa roti isi.
“Nggak, biar puasanya lebih afdal,” jawabnya mantap.
Sepanjang perjalanan, Imron menahan diri. Tidak makan, tidak minum, tidak tertawa. Berpuasa sepenuh hati. Ia ingin benar-benar merasakan derita ini, meresapi rasa haus, lapar, dan lemas sebagai wujud ketulusan.
Seorang penjual minuman dan kudapan ringan yang lewat menawarinya air mineral, tapi ia menolak dengan senyum getir. “Terima kasih, Pak. Saya masih kuat,” katanya, meskipun tenggorokannya mulai terasa seperti padang pasir di siang bolong.
Begitu azan ashar berkumandang, Imron bergegas ke toilet untuk berwudu. Ia membasuh wajahnya perlahan, kemudian tangan dan rambut. Saat tiba di bagian kaki, Imron mulai merasa ini bukan lagi wudhu biasa, tapi ujian ketangkasan. Ia mencoba mengangkat kakinya ke wastafel, tapi ternyata terlalu tinggi. Akhirnya, matanya tertuju pada bidet shower. Dengan sedikit keraguan, ia meraihnya, menekan pelatuknya perlahan, lalu… syuuut! Air menyemprot terlalu deras, membuat celananya basah.
Di perbatasan antar gerbong ada sedikit ruang kosong. Dengan celana yang basah itu Imron menggelar sajadah kecil yang selalu dibawanya. Ia berdiri tegap, mengangkat tangan, dan bertakbir. Kereta masih melaju, sedikit oleng ke kanan dan kiri, membuat tubuhnya harus berjuang menjaga keseimbangan. Tapi itu tidak masalah. Justru di situlah letak heroiknya. Di situlah letak nikmatnya beribadah di tengah keterbatasan.
Salat seperti ini terasa begitu mengharukan. Ia membayangkan dirinya sebagai seorang hamba yang tak menyerah. Ia membayangkan kisah para ulama terdahulu yang beribadah di tengah penderitaan. Ia merasa sedang menapaki jalan sufistik yang intim dan personal hanya menghamba kepada Sang Khalik.
Tubuhnya bergoyang, tapi Imron tetap tegak. Awalnya, salat ini terasa istimewa. Ia merasa seolah sedang menjalani ibadah yang penuh perjuangan.
Namun, seiring waktu, tubuhnya mulai melemah. Gerakannya semakin goyah. Saat rukuk, kepalanya terasa ringan, hampir melayang. Ketika sujud, perutnya mulai bergejolak, seperti ada sesuatu yang naik ke tenggorokan. Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa mual yang mulai menyerang.
Di rakaat terakhir, tubuhnya semakin limbung. Saat duduk tasyahud, pandangannya sedikit berkunang-kunang. Ingin segera mengucapkan salam, tapi ia tetap ingin menyelesaikan salat dengan gerakan yang sempurna. Gigit sunah dengan gigi geraham. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri. Dengan kepayahan, akhirnya ia menyelesaikan empat rakaat penuh tanpa qashar.
Begitu salam terakhir terucap, Imron tetap duduk sebentar. Badannya terasa lemas luar biasa. Lututnya gemetar, kepalanya berat. Tapi ia tetap enggan berbuka. Sudah sejauh ini, tinggal menunggu beberapa jam lagi hingga magrib. Jika ia bertahan sedikit lagi, spiritualitasnya pasti akan semakin ranum.
Namun, tak lama kemudian, perutnya mulai berbunyi. Angin terasa naik ke dada, lalu ke kepala. Dingin menjalar ke seluruh tubuh. Imron menelan ludah lagi, tapi kali ini rasanya berbeda. Kepalanya mulai pening, tubuhnya menggigil. Ia menelan perjuangan ini mentah-mentah. Dan akhirnya, tanpa bisa ditolak lagi—Imron masuk angin.
Imron mencoba berdiri, tapi tubuhnya terasa semakin lemas. Kepalanya berdenyut pelan, perutnya kembung, dan dingin mulai menjalar ke punggungnya. Seorang ibu paruh baya yang duduk tak jauh darinya memperhatikannya dengan cemas.
“Nak, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut.
Imron mengangkat wajah dengan senyum pias. “Iya, Bu. Saya baik-baik saja,” jawabnya, meski bibirnya terasa kering.
Sang ibu membuka termos kecil dan menuangkan air hangat ke dalam tutupnya. “Minum ini dulu, Nak. Badanmu kelihatan lemah.”
Imron menatap air hangat itu sejenak. Uapnya mengepul, seakan mengundang tenggorokannya yang kering untuk menyerah. Tapi ia menahan diri.
“Terima kasih, Bu. Saya masih kuat,” katanya, berusaha tersenyum. Imron menelan ludah. Perutnya seperti menjerit meminta belas kasihan. Tapi ia menggeleng mantap. ” Saya sedang puasa.”
Sang ibu mengerutkan dahi. “Tapi kamu kelihatan nggak enak badan. Buka saja dulu, Nak.”
Imron menggeleng sekali lagi, lebih kuat. “Tidak, Bu. Saya harus bertahan. Spiritualitas hanya bisa diraih dengan penderitaan,” ucapnya dalam hati.
Bapak di sampingnya menatap sinis, sok-sokan banget lu bocah…
Pukul 21:34 WIB kereta berhenti lalu dijemput.
Imron akhirnya sampai di kampung halaman, di Garut, menghabiskan beberapa hari dalam kondisi tubuh yang kurang fit. Masuk angin yang ia derita di perjalanan tidak langsung sembuh, bahkan sempat membuatnya demam. Namun, ia tetap merasa puas. Ia meyakini bahwa penderitaan yang ia alami akan berbuah spiritualitas yang lebih dalam.
Hari-hari berlalu, dan Ramadan terus berjalan. Suatu malam, setelah salat tarawih di masjid dekat rumah, Imron duduk santai di teras sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Udara dingin, suasana tenang, dan perutnya sudah terisi makanan berbuka yang cukup.
Ia meraih ponselnya dan mulai menggulir layar. Sampai akhirnya, sebuah potongan video muncul di berandanya. Video itu menampilkan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar.
“Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan,” ujar beliau dengan suara tenang.
Imron menyimak lebih serius.
“Agama tidak menghendaki penderitaan. Dalam Islam, tidak ada pararelisme antara tingkat penderitaan dengan tingkat pahala yang besar. Islam tidak menilai besar kecilnya pahala dari tingkat penderitaan seseorang.”
Imron terdiam. Ia mengulang video itu sekali lagi, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
“Memang pelaksanaan kewajiban agama itu ada yang menyukarkan, namun kesukarannya berada dalam kewajaran manusiawi. Apabila terdapat kesukaran yang di luar batas manusiawi, maka terdapat kaidah-kaidah dan asas-asas yang memayungi dan memberi kita keringanan,” ujar Syamsul Anwar.
Pikiran-pikiran yang semula ia yakini mulai bergeser. Imron ingat bagaimana ia sengaja menolak sahur, berwudhu dengan kepayahan di gerbong, menolak berbuka walau tubuhnya lemas, bahkan tetap memaksakan salat sempurna dalam kondisi hampir pingsan. Ia merasa dirinya telah melakukan sesuatu yang besar, sesuatu yang mendekatkannya kepada Allah. Tapi benarkah itu yang diajarkan Islam?
Malam itu, Imron bersandar pada kursinya. Angin malam menerpa wajahnya dengan lembut. Kali ini, ia tidak melawannya. Ia membiarkan dirinya menikmati momen itu, tanpa beban, tanpa penyiksaan diri, dan menghubungkan semua ini dengan kebesaran Allah.
Tidak membenamkan diri pada penderitaan, mungkin inilah spiritualitas yang sesungguhnya.
#KontrakanImron