MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Hubungan Muhammadiyah periode awal, saat kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Ibrahim menjadi gerakan pribumi pembeda dalam memberikan perlawanan ke pemerintah Hindia Belanda.
Perbedaan itu terlihat pada sikap akomodatif yang dibangun oleh Muhammadiyah dengan pemerintah Hindia Belanda. Di saat organisasi gerakan pribumi lain lebih ofensif memberikan perlawanan baik secara fisik maupun diplomatis.
Potongan fakta sejarah itu diungkap oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhadjir Effendy pada Selasa malam (4/3) dalam materi Pengajian Ramadan 1446 H PP Muhammadiyah di Dormitory UMY.
Gaya gerakan Muhammadiyah saat itu, kata Muhadjir, terlihat sekali perbedaannya dengan gerakan pribumi lain dalam melawan penjajah. Meski berasal dari sumbu semangat yang sama, yaitu keinginan untuk menjadi bangsa merdeka.
“Itulah menurut saya peranan wasathiyah Muhammadiyah di situ, dengan tokoh yang head to head dengan Belanda itu Muhammadiyah berada di tengah sebagai penyeimbang,” ungkapnya.
Namun demikian, Muhammadiyah tetap aktif memberikan perlawanan ke pemerintah Hindia Belanda. Sebab Muhammadiyah juga aktif menggerakkan rakyat untuk memberikan perlawanan ke penjajah dengan caranya sendiri.
Tak hanya ke pemerintah kolonial, Muhammadiyah di masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan juga membuka diri dan akomodatif dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta, khususnya pada saat Hamengku Buwono ke-VII.
Sikap akomodatif ini memberikan ruang ke Muhammadiyah untuk meluaskan gerakan, dengan tidak kehilangan substansinya. Keberhasilan meluaskan gerakan ini terjadi lantaran bangunan hubungan Muhammadiyah dengan penguasa itu unik.
Pada kepemimpinan selanjutnya, khususnya masa Mas Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo, tokoh-tokoh Muhammadiyah begitu masif bergerak melalui jalur politik praktis termasuk Mas Mansyur dan Ki Bagus untuk mencapai kemerdekaan.
Bahkan Mas Mansyur pada 1937 menjadi salah satu tokoh pencetus berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah organisasi yang menyatukan gerakan Islam untuk melawan politik pemerintah Hindia Belanda.
Hubungan baik juga dibangun Mas Mansyur dengan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Mereka berdua juga sempat mendirikan kelompok studi Taswirul Afkar.
Sejarah lain juga diungkap Muhadjir, yaitu ketika bubarnya Partai Masyumi pada 1960. Karena partainya bubar, banyak anggota Masyumi ikut Muhammadiyah. Tak pelak jumlah anggota Muhammadiyah di banyak tempat mengalami penambahan.
Di sisi lain, Muhammadiyah tetap mampu menjaga hubungan baik dengan Presiden Sukarno yang mengeluarkan Keppres Nomor 200 tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Politik Masyumi.