Imron Rivaldi terbangun dengan kepala berat dan pandangan buram. Begitu membuka mata, ia mendapati selang infus tertancap di lengannya. Setelah menggosok-gosok matanya, dua sosok familiar muncul di hadapannya: Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar, teman kosnya yang setia.
“Aku di mana?” tanyanya dengan suara serak.
“Di RS PKU Muhammadiyah Gamping,” jawab Malik santai.
Imron mengerutkan dahi. “Kenapa bisa?”
“Kau pingsan waktu diskusi politik dan peradaban sama anak-anak IMM,” timpal Nuriel.
Imron terdiam, mencoba mengingat. Terakhir yang ia ingat, ia begitu bersemangat dalam diskusi memikirkan sistem ideologi terbaik untuk Indonesia, sampai lupa kalau belum makan seharian. Begitu berdiri untuk menyampaikan pendapatnya, dunia tiba-tiba gelap.
“Jadi, dari Muhammadiyah ke Muhammadiyah,” gumam Malik sambil terkekeh.
“Maksudnya?” Imron masih belum sepenuhnya sadar.
“Ya, kau pingsan di acara Muhammadiyah, sekarang dirawat di rumah sakit milik Muhammadiyah juga,” jelas Malik sambil tersenyum.
Imron menarik napas panjang. “Sudah kuduga, aku memang si paling Muhammadiyah,” ujarnya bangga.
Teman-temannya tertawa. Tapi tawa yang lebih mirip rasa segan. Mereka tahu celetukan itu garing. Tapi karena Imron masih dalam pemulihan, mereka memilih untuk ketawa respect.
Tapi Imron tak bercanda. Sejak kecil, ia sudah hidup dalam lingkungan Muhammadiyah. TK-nya di Aisyiyah Bustanul Athfal, SD juga di Muhammadiyah, dari SMP hingga SMA ia sekolah sekaligus mondok di pesantren Muhammadiyah. Bahkan kuliah pun di kampus Muhammadiyah. Kini ia juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Tidak hanya itu, ayah Imron adalah pimpinan cabang Muhammadiyah, ibunya aktif di ranting ‘Aisyiyah, sementara saudara-saudaranya kader IPM dan ada juga yang aktif di Pemuda Muhammadiyah. Andaikan tato tidak dilarang dalam Islam, kedua orangtuanya pasti bakal bertato logo Muhammadiyah di lengan, lengkap dengan tulisan ‘Berkemajuan’ di bawahnya.
Di rumah Imron, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi, tapi atmosfer. Dinding rumahnya dihiasi lukisan KH Ahmad Dahlan lengkap dengan kaligrafi bertuliskan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Rak bukunya penuh dengan buku-buku Majelis Tarjih terbitan Suara Muhammadiyah. Di ruang tamunya, terpajang Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), lengkap dengan tanggal hasil hisab. Bahkan, beras, mie instan, hingga AC yang dipakai keluarganya pun hasil produksi amal usaha Muhammadiyah.
Intinya, keluarga Imron sudah menjadi Muhammadiyah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
“Jadi sakit pun harus di Muhammadiyah?” tanya Nuriel menggoda.
“Biar tuntas,” jawab Imron santai. Ia melanjutkan, “Kalau dada ini dibelah…”
“Ada logo Muhammadiyah?”
“Ada jantung, Lik.”
Malik dan Nuriel saling pandang. Lawakan jadul. Tapi, ya sudahlah. Namanya juga orang sakit. Lagi-lagi mereka ketawa respect.
Totalitas Imron dalam bermuhammadiyah menunjukkan bahwa Muhammadiyah ada di berbagai sektor kehidupan, dari pendidikan, sosial, hingga layanan kesehatan. Hal ini menjadikan Muhammadiyah lebih dari sekadar organisasi, tetapi sebuah ekosistem yang membentuk cara berpikir dan gaya hidup.
“Tapi menurutku, kamu bukan si paling Muhammadiyah sih, Mron,” protes Malik secara tiba-tiba.
Imron mengangkat alis. “Terus siapa?”
“Nuriel,” jawab Malik mantap.
Imron hampir tersedak. “Kamu serius?”
Malik mengangguk. “Kamu itu Muhammadiyah karena lingkungan. Sejak lahir sudah dikenalkan Muhammadiyah. Dari TK sampai kuliah, semua Muhammadiyah. Wajarlah kalau sekarang kamu Muhammadiyah.”
“Menarik,” respon Imron. Selama ini, Imron tak pernah bertanya, apakah ke-Muhammadiyah-annya ini adalah sebuah pilihan atau sekadar konsekuensi dari lingkungan? Ia tumbuh dalam ekosistem yang sudah terbentuk. Tidak pernah benar-benar mengalami tantangan berarti dalam meyakini keyakinannya.
“Yang dikatain si Malik bener sih,” ujar Nuriel. Ia bukan berasal dari keluarga Muhammadiyah. Sekolahnya bukan Muhammadiyah, pesantren tempatnya belajar juga tidak. Orang tuanya lebih dekat dengan ormas lain, dan sejak kecil, ia tumbuh dalam tradisi keagamaan yang berbeda. Namun, ia memilih Muhammadiyah.
Nuriel menatap Imron sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. “Aku harus berjuang memahami Muhammadiyah dari nol.”
Imron mendengarkan, kali ini tanpa bercanda.
Nuriel kemudian menceritakan bagaimana ia berkenalan dengan Muhammadiyah. Ia merasa Muhammadiyah yang mengedepankan amal sosial lebih masuk akal. Ajaran keagamaannya pun tidak berlebihan, tidak penuh embel-embel mistis, juga tidak kering dari nilai spiritual. Semua berbasis dalil dan rasionalitas. Tidak ada ajaran yang meminta taklid buta. Semuanya harus dipahami dengan akal dan ilmu.
“Respon orangtuamu gimana begitu tahu kamu pindah haluan?”
Nuriel menatap langit-langit kamar rumah sakit. Ia teringat betapa ia dulu merasa seperti mualaf di rumah sendiri. Ia berusaha keras menyembunyikan identitas Muhammadiyah-nya dengan hati-hati. Beribadah diam-diam. Bahkan, untuk sekadar membaca Himpunan Putusan Tarjih (HPT) di kamar sendiri pun ia merasa was-was.
Pernah suatu kali, ibunya masuk ke kamar mendadak. Panik, Nuriel buru-buru menyelipkan HPT di balik bantal, jantungnya berdegup kencang seperti baru saja kepergok menyimpan barang-barang terlarang. Ia berusaha keras menyembunyikan barang bukti.
Mencoba tetap bersikap tenang, tetapi tubuh Nuriel justru kaku, matanya menghindari tatapan ibunya yang penuh selidik. Mati aku! Berkali-kali suara hatinya bilang begitu.
Ibunya melangkah mendekat, memperhatikan gelagat aneh dari anaknya itu. Nuriel menekan bantalnya erat, seolah ada sesuatu yang harus disembunyikan. Dalam hitungan detik, ibunya sudah lebih dulu menarik bantal itu, memperlihatkan buku tebal bertuliskan Himpunan Putusan Tarjih.
Nuriel menahan napas. Ia siap menghadapi gemuruh ceramah panjang, mungkin disertai sumpah serapah yang tidak sedap: ‘Anak macam apa kau ini?! Keluar dari rumah ini! Dasar anak durhaka!’. Ia juga sudah siap dikutuk jadi ikan pari.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ibunya hanya menatap buku itu sejenak, lalu meletakkannya kembali. Tanpa berkata apa-apa, ia keluar dari kamar, meninggalkan Nuriel dalam kebingungan.
“Aku pikir, begitu ketahuan, langsung dikutuk jadi ikan pari.”
“Terus, gimana akhirnya, Riel?”
“Ternyata, pas aku ngaku jadi kader Muhammadiyah, mereka cuma bilang, ‘Oh, yaudah.’”
“Gitu doang? Kirain bakal ada drama.”
“Iya, Mron, gitu doang,” jawab Nuriel, setengah tak percaya.
Imron terkekeh, lalu berujar, “Jadi intinya, seberapa Muhammadiyah seseorang itu bukan dari di mana ia lahir, tapi dari bagaimana ia menimbang kemudian memilih jadi kader Muhammadiyah sejati.”
“Nah itu dia,” kata Malik.
“Kalau kamu gimana, Lik? Kok bisa jadi kader Muhammadiyah?” tanya Nuriel penasaran.
“Ceritanya panjang.” Malik mendesah panjang. Matanya menerawang ke langit-langit, seolah ada bayangan masa lalu yang kembali hadir. Dengan nada yang cukup dalam, ia berkata, “Dulu aku malah bercita-cita jadi anggota Akatsuki…”
Belum sempat Malik melanjutkan ceritanya, pintu kamar terbuka. Seorang dokter masuk sambil membawa berkas.
“Imron Rivaldi, kita periksa dulu, ya.”
Dokter melirik berkas medis, memeriksa catatan perawat, lalu mengangguk.
“Gimana, Dok?”
“Sudah membaik, besok sudah boleh pulang.”
“Alhamdulilah!!!”
Mereka bersorak, air mata kebahagiaan mengalir tanpa henti. Malik bahkan hampir berlutut penuh haru, siap mengucapkan pidato perpisahan. Namun, di balik semua suka cita yang berlebihan ini, impian Malik untuk menjadi anggota elit Akatsuki dan kenapa ia menjadi kader Muhammadiyah masih menjadi misteri para sejarawan hingga saat ini.