Tiap sebelum berangkat tarawih, Imron Rivaldi dan dua teman kosnya, Malik Senja Ramadan serta Nuriel Al-Kautsar, selalu terlibat dalam diskusi hebat. Kalau didengar dari luar, orang pasti mengira mereka sedang sidang isbat!
Padahal, mereka cuma ribut soal Messi vs C. Ronaldo, yang sama sekali tidak ada andilnya untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Imron menggeleng pasrah. “Astaghfirullah, begini amat nasib kita. Udah telat dua rakaat!”
Tanpa banyak cakap lagi, mereka langsung bergegas ke masjid Muhammadiyah di Tamantirto, Bantul. Masjid itu begitu nyaman, luas, dan dipenuhi jamaah dari berbagai kalangan. Seperti biasa, tarawih di sana dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah Saw, delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir, dengan formasi 4-4-3.
Begitu tarawih selesai, Malik dan Nuriel langsung melesat pulang ke kontrakan.
Sementara Imron memilih tetap duduk bersila di sudut masjid. Ia menikmati suasana ini. Hatinya tentram. Ia melirik ke setiap sudut masjid.
Ada yang sedang khusyuk berdoa, ada yang sudah bersiap berburu jajanan sebagai bentuk pembalasan dendam atas puasa seharian, dan ada juga yang mulai sibuk melirik muda-mudi muslimah dengan mukena warna-warni mencolok yang selama ini tidak pernah terpantau.
Yang melakukan hal terakhir ini, tentu saja, Imron.
“MasyaAllah… Ramadan memang bulan penuh berkah,” gumamnya lirih.
Baru saja Imron hendak mengoreksi niatnya agar lebih khusyuk, seorang muslimah terlihat berjalan menuju ke arahnya. Ia begitu anggun dan berseri. Mukena putihnya menjuntai indah. Mata Imron sekilas menangkap gerakan lembut jemarinya yang merapikan jilbab.
Kedua mata mereka kemudian bertemu. Imron langsung memalingkan wajah. Ia takut terlalu dalam melakukan objektifikasi terhadap perempuan.
Tapi perempuan itu terus mendekat. Perlahan-lahan semakin mendekat.
“Kak Imron?”
Reaksi Imron hanya mematung. Ini memang bukan pertama kalinya ia disapa perempuan. Namun, reaksi Imron setiap kali disapa perempuan selalu sama: gugup dan mendadak jadi bodoh.
“Iya, ada apa?”
“Perkenalkan, Kak, saya Dinda Hafsah Mewangi, dari IMM Sleman.”
Ternyata Ukhtivis IMM, kata Imron dalam hati.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak Wangi?” tanya Imron, mencoba terdengar diplomatis.
“Dinda saja, Kak.”
“Baik, Dinda.”
“Jadi begini, Kak…” Hafsah mulai menjelaskan bahwa pemateri yang seharusnya mengisi diskusi bedah buku Salat Tarawih: Tinjauan Usul Fikih, Sejarah & Fikih karya Prof Syamsul Anwar mendadak berhalangan hadir karena tugas di luar kota. Sebelum berangkat, pemateri tersebut merekomendasikan nama Imron sebagai pengganti, dengan alasan bahwa ia dianggap cukup cakap memahami persoalan ini.
Tanpa pikir panjang, Imron menyetujui. Lalu mereka bertukar nomor WhatsApp.
Begitu sampai di kontrakan, Imron sibuk mencari buku Salat Tarawih tersebut. Ia membongkar rak buku kecil di pojok kamar, menggeser tumpukan kitab yang tak beraturan, lalu beralih ke bawah meja belajar yang penuh dengan kertas-kertas catatan. Tak ketemu.
Imron beranjak ke lemari baju, siapa tahu terselip di antara tumpukan kaos. Tetap nihil. Ia bahkan sempat menyingkap bantal dan kasur, berharap buku itu tiba-tiba muncul secara ajaib seperti dalam kisah-kisah karamah para sufi. Tapi tetap tidak ada.
“Nyari apaan sih, Mron?”
“Nyari keadilan di negeri ini, Lik!”
“Emang ada?”
Akhirnya, buku itu ditemukan di rumah bapak kontrakan. Malik yang memberitahunya. Rupanya, buku itu sempat dipinjam oleh bapak kontrakan karena tertarik membaca isinya.
Setelah mendapatkannya kembali, Imron langsung duduk bersila di kamar dan mulai menelaah isi buku dengan seksama untuk dibedah bersama kawan-kawan IMM Sleman.
“Kok baca buku itu lagi? Apa yang menarik?” tanya Nuriel, penasaran.
Imron menutup buku sejenak dan menatap Nuriel. Ia lalu mulai menjelaskan bahwa buku ini ditulis oleh Profesor Doktor Syamsul Anwar, pakar hukum Islam dari UIN Sunan Kalijaga sekaligus Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pendapat yang tertuang dalam buku ini tentu bukan berasal dari orang yang ilmunya masih mentah.
Selain itu, Imron menambahkan bahwa kajian dalam buku ini didukung oleh fakta sejarah yang menggambarkan perkembangan salat tarawih dari masa ke masa, terutama di Masjid Nabawi.
Malik yang sejak tadi sibuk marathon One Piece akhirnya mengernyit ingin terlibat dalam diskusi. Ia meletakkan ponselnya dan bersandar di dinding. “Jadi, kenapa di Masjid Nabawi sekarang tarawihnya dua puluh rakaat?” tanyanya.
Imron menutup bukunya sejenak dan menaruhnya di kasur. Ia tersenyum. Melihat dua karibnya menunggu jawaban dengan mata yang berbinar-binar, Imron menampilkan diri sepenuhnya sebagai penguasa mutlak pembahasan tentang tarawih ini.
“Tarawih di Masjid Nabawi sebenarnya mengalami perkembangan panjang, Lik” ucap Imron, kemudian dilanjutkan, “Awalnya, di zaman Nabi, salat ini sebelas rakaat, sesuai hadis ‘Aisyah. Saat Umar bin Khattab menertibkan jamaah tarawih, beliau juga menetapkan sebelas rakaat. Nah, seiring waktu, jumlah rakaatnya nambah. Ada yang nyebut Umar mengubahnya jadi dua puluh, tapi sebenarnya nggak ada riwayat sahih soal itu.”
Nuriel menyela, “Terus, kapan mulai jadi dua puluh?”
“Pada masa Mu‘awiyah, Riel, sekitar akhir pemerintahannya, jumlah rakaat naik jadi tiga puluh enam. Lalu pada abad ke-4 Hijriah, saat Madinah dikuasai Dinasti Fatimiah yang alirannya Syiah, jumlahnya dikurangi jadi dua puluh rakaat. Tradisi dua puluh rakaat ini terus berlangsung sampai sekarang, sejak Dinasti Saudi berkuasa di Arab.”
Malik mengangguk paham. “Jadi kalau mau mengikuti yang paling sahih?”
Imron tersenyum penuh kemenangan. “Tentu yang sesuai tuntunan Nabi, delapan rakaat plus tiga rakaat witir. Karena hujah utama kita adalah praktik beliau, bukan inovasi yang datang belakangan. Ingat formasinya 4-4-3.”
Imron tiba-tiba merasakan getaran halus di sakunya. Ia merogoh ponsel dan mendapati sebuah pesan masuk dari Dinda Hafsah, perempuan yang tadi menemuinya selepas salat tarawih di masjid. Pesannya singkat namun cukup membuatnya terdiam sejenak. Diawali dengan salam, lalu diakhiri dengan pertanyaan: Kak, besok presentasinya mau pakai slide PPT atau nggak?
Sebelum sempat membalas, Malik dan Nuriel langsung memasang wajah usil, senyum mereka melebar seperti tengah menyaksikan adegan puncak dari sebuah drama romantis.
“Uwooo… Dapat pesan spesial, nih, Mron!” goda Malik.
Imron hanya bisa mendesah pasrah. Wajahnya terasa menghangat, tapi ia tetap berusaha memasang ekspresi tenang. Dengan satu gerakan tegas, ia mengibaskan tangan ke arah mereka. “Udah, sana pergi! Diskusi tarawih kita selesai dulu!” ujar Imron setengah mengusir.
Begitu kedua temannya menjauh, Imron kembali menatap layar ponselnya. Ia mengetik dengan cepat, berusaha tetap profesional meski senyum kecil tak bisa ia tahan.
InsyaAllah, slidenya sedang disiapkan.
Lalu dibalas, okay, Kak. Makasih!
Malam itu, Imron duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan penuh fokus. Canva terbuka, dan satu per satu slide mulai ia susun dengan teliti. Materinya bersumber dari buku Salat Tarawih karya Prof Syamsul Anwar. Ia memastikan setiap poin tersusun rapi, lengkap dengan kutipan, dalil, serta ilustrasi pendukung agar presentasinya esok berjalan maksimal.
Jarum jam terus bergerak, namun Imron tak sedikit pun merasa mengantuk. Ia tenggelam dalam pekerjaannya, memastikan warna, font, dan transisi slide tampak profesional. Sesekali ia meregangkan badan, menghela napas panjang, lalu kembali mengetik dengan teliti. Hingga tanpa terasa, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari.
Saat Imron hendak beranjak untuk berwudhu, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah pesan masuk. Dari Dinda Hafsah. Lagi.
Pesannya singkat, tapi sukses membuat jantung Imron berdegup lebih kencang. Diawali dengan salam, lalu diakhiri dengan satu pertanyaan yang membuatnya terpaku: “Kak, bisa telepon sebentar?”
Imron menatap layar ponselnya cukup lama. Dadanya mendadak terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Dalam hatinya, ia mulai kegeeran. Kenapa harus secepat ini?
Rasa penasaran mengalahkan kantuk yang nyaris tiba. Dengan sedikit ragu, Imron akhirnya menekan tombol hijau. Setelah nada sambung singkat, terdengar suara lembut di seberang.
“Assalamu’alaikum, Kak Imron. Maaf mengganggu.”
Imron menelan ludah, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Wa’alaikumussalam. Iya, Dinda. Ada apa?”
Setelah berbasa-basi sebentar, Dinda akhirnya menyampaikan inti pembicaraan. “Maaf, Kak, sebelumnya. Pemateri yang tadi siang izin mendadak… ternyata sekarang bisa bergabung di diskusi besok.”
Sejenak, Imron merasa seperti disambar petir.
#KontrakanImron