MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Muhammadiyah mempelopori kegiatan Salat Id di lapangan pada tahun 1924. Kemudian memasifkan kepeloporan tersebut dalam sebuah keputusan organisasi pasca Muktamar ke-15 tahun 1926 di Surabaya.
Kepeloporan Muhammadiyah sebagai organisasi yang mempopulerkan Salat Id di lapangan memunculkan identitas baru bagi organisasi – sebab sebelumnya Muhammadiyah meski sebagai organisasi keagamaan, namun lebih terkenal sebagai ormas di bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Sejarawan Muhammadiyah yang juga Anggota Majelis Pustaka Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi menjelaskan, pertama kali Salat Id di lapangan diselenggarakan Muhammadiyah pada 1924 di Lapangan Gampingan atau sekarang lebih dikenal dengan Lapangan Asri di Wirobrajan, Kota Yogyakarta.
Ghifari menegaskan, Salat Id diselenggarakan Muhammadiyah di tanah lapang ialah pada tahun 1924 kemudian ditetapkan pada Kongres Muhammadiyah tahun 1926. “Biasanya Muhammadiyah itu mengambil keputusan itu setelah Muhammadiyah sebetulnya melakukan. Keputusan itu sebenarnya untuk melegitimasi ke depannya. Jadi telah dilakukan sejak 1924, tapi secara officially di Kongres baru diputuskan pada 1926,” kata Ghifari merujuk foto berketerangan “Sembahjang Hari Raja Fitrah tahoen 1343 H. ditanah lapang Gampingan Djokja.”
Pada 1924 tampuk kepemimpinan puncak di Muhammadiyah masih dipegang oleh KH. Ibrahim bin KH. Fadlil Rachmaningrat. Dalam catatan Kiai Soedja’ (1933), Kiai Ibrahim merupakan sosok ulama berpengetahuan luas. Sepulangnya dari haji dan menuntut ilmu di Mekkah pada 1903, Kiai Ibrahim disambut hangat dan banyak sekali umat yang menimba ilmu ke beliau.
Kiai Ibrahim merupakan penghafal (hafiz) Al-Quran dan ahli qira’ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab.
Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Pertarungan dan Penguatan Identitas Muhammadiyah
Muhammadiyah sejak awal didirikan merupakan ormas keagamaan yang memiliki perhatian tinggi ke pendidikan, sosial, dan kesehatan. Hingga kemudian ketiga bidang itu menjadi identitas yang melekat pada Muhammadiyah. Namun zaman menuntut selalu ada perubahan, dan Muhammadiyah menjawab tantangan itu.
Ghifari menjelaskan, concern Muhammadiyah ke bidang fikih dan ibadah tidak semata karena pengaruh dari Kiai Ibrahim. Sebab pada 1920 sampai 1925 di Indonesia mulai bermunculan ideologi-ideologi baru, seperti Komunisme, Nasionalis, dan gerakan keislaman lain yang memiliki corak fikih tersendiri, termasuk dengan kelompok keagamaan yang lain.
“Sehingga Muhammadiyah memiliki sensitivitas yang lebih tinggi pada urusan keagamaan memang. Tensi menjadi lebih tinggi. Misal selama ini Muhammadiyah berinteraksi sama orang Kristen/Zending, atau orang Katolik/Missing itu Muhammadiyah tidak mengedepankan sensitivitas agama. Karena dalam pengelolaan PKO di awal-awal Kiai Sudja’ itu dengan senang hati, malah menuntut bagaimana supaya dokter-dokter Belanda itu membantu PKO dan itu tidak ada masalah. Namun pada 1925 sensitivitas Muhammadiyah terhadap fikih itu memang menguat, termasuk kesadaran tentang Kristenisasi,” ungkap Ghifari.
Pada tahun yang sama di Muhammadiyah juga muncul klaim terhadap Ahmadiyah yang dianggap sesat. Padahal sebelum-sebelumnya Ahmadiyah diterima dan diberikan tempat saat Kongres Muhammadiyah 1924 di Jogja. Kedekatan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah tak bertahan lama, sebab pada 1925 Ahmadiyah dianggap sesat oleh Muhammadiyah.
Pertarungan ideologi saat itu direspon oleh Muhammadiyah dengan mendirikan majelis yang kelima yaitu Majelis Tarjih pada 1927. Dibentuknya Majelis Tarjih ini untuk menghimpun ulama Muhammadiyah untuk membicarakan masalah peribadatan, sehingga pada 1928 mulai bermunculan produk ketarjihan dalam bentuk fikih bagi warga Muhammadiyah termasuk Salat Id di tanah lapang.