MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Zakat fitri yang awalnya hanya dimanfaatkan oleh elit agama, kemudian oleh Muhammadiyah pengumpulan dan pembagiannya dibuat tersistem sehingga pembagian zakat lebih tepat sasaran.
Hal itu diungkapkan oleh Sejarawan Muhammadiyah sekaligus Anggota Majelis Pustaka Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pada Sabtu (29/3) ke reporter muhammadiyah.or.id secara daring.
Sebagai organisasi pembaruan Islam, Muhammadiyah banyak melakukan gebrakan gerakan melintasi zaman yang berbasis pada Al Qur’an dan Sunnah. Salah satunya di bidang filantropi Islam.
Peran signifikan yang ditunjukkan Muhammadiyah di bidang filantropi ini adalah dengan menginstitusionalisasi lembaga zakat. Di mana sebelumnya, zakat yang disetorkan hanya dinikmati oleh segelintir elit agama saja.
Terobosan yang dilakukan oleh Muhammadiyah terjadi pada 1915, ketika Kiai Penghulu Kraton adalah Muhammad Kamaludiningrat. Ghifari menjelaskan, Kiai Penghulu ke-13 ini juga dikenal kooperatif dengan Muhammadiyah.
Dalam konteks Yogyakarta sebelum tahun 1915, katanya, zakat fitrah yang dihimpun dari umat Islam hanya berputar di lingkaran elit yaitu para staf penghulu. Sehingga beras yang dikumpulkan tidak kembali ke masyarakat yang membutuhkan.
“Seakan itu menjadi gaji persembahan untuk mereka, kaya konsep di Buddha. Inikan problematis saat itu. Kemudian zakat mal juga belum muncul saat itu,” tuturnya.
“Cuma fitrah itu tidak cukup dikumpulkan, dan dibagi. Sehingga melalui Djirowongso – Sekretaris PKO dan Kiai Sudja’ menginisiasi untuk bagaimana mengumpulkan zakat fitrah di Masjid Gedhe dan itu diizinkan oleh Kiai Penghulu,” katanya.
Ghifari menjelaskan, pemahaman umat terhadap fikih zakat saat itu juga masih belum mainstream – mereka hanya mengetahui zakat fitrah. Oleh karena itu, perbaikan manajemen melalui institusionalisasi lembaga zakat oleh Muhammadiyah turut membuka pengetahuan bagi di kalangan umat Islam.
Oleh karena itu, meskipun manajemen zakat telah diinisiasi oleh Muhammadiyah tapi perolehan zakat belum cukup untuk dibagikan merata ke masyarakat yang membutuhkan. Alhasil Muhammadiyah sering tombok untuk mencukupi itu.
“Muhammadiyah waktu itu telah melakukan manajemen lebih baik, tapi tetap saja tidak cukup. Oleh karena itu, Muhammadiyah sampai beli beberapa kodi beras untuk dibagikan kepada mereka,” ungkapnya.