MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Hujan deras mengguyur Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin sore (10/03) menjelang waktu berbuka puasa. Namun, rintik air yang membasahi jalanan tak menyurutkan semangat ratusan mahasiswa yang hadir dalam acara Kajian Menjelang Buka Puasa di Masjid KH Ahmad Dahlan.
Talqis Nurdianto, Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengungkapkan betapa besar harapan orangtua untuk bisa berbuka puasa bersama anak-anaknya di bulan Ramadan. Namun, bagi mahasiswa yang jauh dari kampung halaman, seperti di Yogyakarta, hal itu sering kali hanya menjadi angan.
“Coba tanya ke orang tua, ‘Pak, Bu, kangen sama saya enggak?’ Mereka mungkin jawab ‘kangen’, tapi sering kali rasa kangen itu disembunyikan agar anak tak terganggu konsentrasinya dalam belajar,” katanya.
Ia menegaskan bahwa orang tua kerap memendam kerinduan demi mendukung anak menjalani masa studi, sebuah pengorbanan yang kadang tak disadari.
Dalam ceramahnya, Talqis mengajak mahasiswa mengevaluasi kedekatan mereka dengan orang tua, baik secara fisik maupun batin. “Seberapa dekat kita dengan orang tua? Apakah lewat doa, komunikasi via telepon? Atau seberapa greget kita memenuhi panggilan mereka?” tanyanya.
Ia memberi contoh sederhana namun mengena: ketika ada miss call dari orang tua, sering kali mahasiswa hanya membiarkannya, tapi jika dari kekasih, langsung ditelepon balik dengan penuh semangat. “Ini momen Ramadan, 10 hari kedua, kesempatan emas untuk memperbaiki hubungan dengan orang tua,” tegasnya.
Talqis juga berbagi pengalaman pribadi yang mengharukan. Ia menceritakan kehilangan ibunya pada 2021 saat menempuh S3 dan ayahnya pada 2009 saat S2 di Kairo, sehingga tak sempat menghadiri pemakaman keduanya.
“Kalau orang tua sudah tiada, yang tersisa adalah rindu. Dulu saat sahur, ibu membangunkan dengan ketukan pintu, ‘Kis, bangun!’ Kalau lama tak bangun, ‘Karepmu, mau sahur apa enggak!’” kenangnya dengan nada penuh nostalgia. Ia mengajak mahasiswa membayangkan betapa berharganya momen kecil bersama orang tua yang kini hanya jadi kenangan.
Lebih jauh, Talqis mengingatkan bahwa sikap anak terhadap orang tua akan tercatat dalam “jurnal kehidupan” dan berbalik pada mereka di masa depan. Ia menceritakan kisah seorang ayah dan anak di taman.
Sang ayah, yang sudah tua, bertanya tiga kali tentang burung gereja kepada anaknya, hingga anak itu marah. Ayahnya lalu menunjukkan buku harian lama, yang mencatat bagaimana ia dengan sabar menjawab pertanyaan serupa dari anaknya yang berusia 3 tahun hingga 20 kali, bahkan memeluknya setiap kali bertanya.
“Apa yang kita tulis dalam jurnal hidup kita dengan orang tua akan kembali pada kita saat kita jadi orang tua nanti,” pesannya.
Di tengah guyuran hujan yang kian lebat, Talqis mengajak jamaah mahasiswa untuk tetap menjaga komunikasi dengan orang tua, mendoakan mereka tanpa batas, dan menjalankan amanah belajar sebagai bentuk bakti.
“Orang tua tak menuntut uang dari kita, tapi ilmu dan kebaikan. Ramadan ini, mari kita greget menjaga hubungan dengan mereka,” katanya.