Di tengah siang yang terik, Imron Rivaldi duduk bersila di atas tikar pandan di kamar kosnya yang sederhana. Kipas angin tua di sudut ruangan berderit pelan, berusaha menyejukkan udara yang terasa pengap. Di layar televisi kecil, acara Hafiz Indonesia sedang berlangsung.
Anak-anak kecil dengan gamis rapi dan peci warna-warni tampil satu per satu, melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan suara merdu dan tartil. Ada yang baru berusia tujuh tahun, ada pula yang masih kelas tiga SD, tapi hafalan mereka sudah mencapai belasan juz.
Imron menatap layar dengan mata terpana. “Kok bisa ya, bocah-bocah belum baligh ini menghafal Al Quran? Bacaan mereka bagus lagi,” gumamnya dalam hati, setengah kagum, setengah minder.
Ia memandangi seorang peserta cilik yang sedang melantunkan Surat Ar-Rahman dengan penuh penghayatan. Anak itu bahkan tak perlu membuka mushaf, matanya hanya menatap lurus ke depan, seolah ayat-ayat itu sudah menjadi bagian dari napasnya.
Imron lalu termenung, tatapannya kosong menembus layar televisi.
Selama ini, ia merasa dirinya cukup “berilmu” soal Al Quran. Di kampus, ia dikenal sebagai mahasiswa yang vokal dalam diskusi-diskusi keislaman. Ia sibuk mengunyah teori-teori rumit seperti hermeneutika, berjam-jam membaca buku tentang pendekatan tafsir kontemporer, atau asyik berdebat dengan teman-temannya di kelompok studi.
“Apakah makna Al Quran itu inheren dalam teksnya, atau justru dibentuk oleh komunitas mufasir di masa klasik?” tanya Imron suatu kali dalam sebuah diskusi. Pertanyaannya ini membuat beberapa temannya mengangguk setuju, sementara yang lain hanya memutar bola mata.
Tapi tiap kali ia melontarkan sesuatu yang membuat teman-temannya tak paham, ia merasa puas dan bangga, seolah dialah yang paling mendalam memahami Al Quran.
Imron juga pernah menghabiskan malam-malam panjang mengkaji sejarah kodifikasi Al Quran. Bagaimana mushaf Utsmani disusun, bagaimana varian qiraat muncul, dan bagaimana para ulama berdebat soal harakat dan tanda baca. Semua itu membuatnya merasa pintar, merasa “lebih” dari orang lain yang sekadar membaca Al Quran tanpa bertanya-tanya.
Tapi kini, melihat anak-anak kecil di televisi itu, Imron merasa seperti ditampar. “Aku ini apa, sih? Sibuk ngomongin Al Quran, pakai teori-teori njlimet tapi hafalanku cuma stuck di Juz Amma,” pikirnya.
Imron tiba-tiba teringat perkataan dosennya dulu: “Ngaji itu bukan cuma di otak, tapi di hati. Tempatkan Al-Quran sebagai bagian dari aktivitas harian kita.” Saat itu, ia cuma nyengir sinis, menganggap kalimat itu terlalu klise. Tapi sekarang, kalimat itu terasa seperti pukulan telak.
Belajar mendalami Al-Quran memang pelu tapi juga perlu ditopang dengan hal-hal yang lebih mendasar. Jika tidak bisa menghafal, jadilah pembaca Al Quran yang gigih.
Pergolakan batin Imron makin menjadi-jadi. Di satu sisi, ia merasa bersalah. Ramadan sudah lebih dari separuh jalan, tapi ia belum juga membuat kemajuan berarti dalam membaca Al Quran. Ia teringat janji yang pernah ia buat di awal Ramadan: “Minimal khatam sekali lah.” Tapi di sisi lain, ia juga takut gagal lagi. “Kalau aku mulai sekarang, apa iya bisa selesai?”
Lalu, kenangan masa kecil Imron menyelinap. Dulu, saat masih SD, ia pernah mengkhatamkan Al Quran bersama guru ngajinya di kampung. Ia masih ingat betul betapa senangnya ia saat itu, ibunya memasak nasi kuning untuk selamatan kecil-kecilan. Tapi sejak kuliah, ia malah tak pernah lagi khatam dari Al-Fatihah hingga An-Nas.
Imron lalu melirik mushaf tua yang tergeletak di atas meja kecilnya, penuh debu di sampulnya. Sudah dua minggu lebih Ramadan berjalan, tapi Imron masih berkutat di Juz 7, tepatnya di Surat Al-A’raf ayat 50-an. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali membukanya.
Setiap kali berniat membaca, selalu ada saja alasannya: capek habis kuliah, tugas numpuk, atau malah ketiduran gara-gara scroll TikTok dan X sampai tengah malam. Ia bahkan pernah membuka Al Quran hanya untuk buat story di Instagram, berpose dengan mushaf di tangan sambil menulis caption “Bismillah, target Ramadan,” padahal setelah itu ia langsung lanjut nonton video makanan jalanan di India.
Dari Juz 7 itu, Imron memutuskan untuk mengkhatamkan Al Quran sebelum Lebaran tiba. Ia menghitung sisa hari—13 hari lagi—dan membagi target: dua setengah juz per hari. Baginya, mengkhatamkan Al Quran di masa-masa kritis ini seperti Ujian Chunin yang penuh rintangan.
“Ini jalan ninjaku,” gumam Imron.
Tapi Imron tahu, musuh terbesarnya bukan waktu, melainkan ponsel di tangannya. Maka, ia memutuskan untuk digital detox alias puasa bermain hape. Mungkin dengan cara ini ia bisa terbebas dari yang namanya candu bersosial media.
Malam itu, Imron mengunci ponselnya di laci meja, kuncinya ia sembunyikan di dalam kaleng biskuit Khong Guan kosomg yang sudah berdebu. “Biar aman dari godaan,” pikirnya bangga.
Tapi tak sampai satu jam, tangannya sudah gatal. “Cuma cek notif bentar,” katanya pada diri sendiri, lalu berakhir membongkar kaleng biskuit itu dengan panik seperti pencuri amatiran. Kunci ketemu, ponsel dibuka, dan tiba-tiba ia sudah asyik nonton thread X tentang “10 Teori Konspirasi Paling Absurd.”
Besoknya, Imron coba cara lain yang lebih radikal: menitipkan hapenya ke bapak kos. Ia datang dengan wajah serius, lalu menyerahkan senjata berbahaya tersebut ke bapak kos.
“Pak, tolong simpen hape saya selama 14 hari. Kalau saya minta balik sebelum waktunya, Bapak boleh ambil hapenya,” kata Imron yang sedang membuat perjanjian hidup-mati.
“Yakin, Mron? Nanti nangis minta balik loh.”
Respon Imron cuman mengangguk.
Hari pertama tanpa hape terasa seperti neraka. Imron mondar-mandir di kamar, matanya melirik ke laci kosong tempat hapenya biasa tergeletak. Ia buru-buru membuka mushaf dan membaca dengan fokus, meski tangannya reflek mencari ponsel yang tak ada.
Hari kedua, ia mulai gelisah. Hari ketiga, Imron sakau parah. Ia duduk di sudut kamar, memeluk bantal sambil bergumam, “Aku kangen notif… aku kangen scroll…” seperti pecandu yang kehilangan dosis. Hari keempat, ia pasrah. “Ya Tuhan, kalau ini bukan jalan ninja, ambil aja nyawaku,” katanya sambil membuka mushaf dengan tangan gemetar.
Tapi lama-kelamaan, strategi ini berhasil. Dengan tekad yang kuat, ia terbebas dari kecanduan. Tanpa distraksi ponsel, Imron mulai menikmati ritme membaca Al Quran. Ia membuat jadwal ketat: satu juz setelah subuh, setengah juz setelah dzuhur sambil nunggu adzan ashar, dan sisanya malam hari.
Tanggal 28 Ramadan, Imron sudah khatam Al-Quran. 30 Juz. Syukur Alhamdulilah. Ia bergegas balik ke bapak kos dengan wajah sumringah. Ia harus mudik besok, Lebaran tinggal dua hari lagi, dan butuh hapenya untuk pesan tiket bus online karena kereta menuju Garut sudah habis.
“Pak, saya mau ngambil hape, udah selesai misinya!” katanya penuh percaya diri.
“Loh, ini kan baru hari kedubelas! Perjanjiannya 14 hari, Mron.”
Imron akhirnya menangis di pojokan, meratapi nasibnya.
“Dasar ninja abal-abal,” kata bapak kos sambil menyerahkan hape Imron.