Imron Rivaldi duduk termenung di bawah atap halaman kosnya. Angin malam berdesir pelan, membawa aroma tanah kering yang khas setelah hujan reda. Namun, pikirannya tak setenang suasana dini hari itu. Ia terjebak dalam pusaran pertanyaan kuno yang seolah tak pernah usai.
“Untuk apa aku hidup? Apa fungsi manusia di dunia ini? Ke mana tujuan semua langkah yang kutempuh?”
Pertanyaan-pertanyaan itu bagai bayang-bayang yang setia mengintai, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melarikan diri. Bagi Imron, hidup terasa seperti teka-teki raksasa yang tak kunjung ia pecahkan, dan jawaban yang ia cari seakan terus bersembunyi di balik kabut tebal.
Imron bukan orang pertama yang bergulat dengan kegelisahan semacam ini. Sepanjang sejarah, manusia telah mencoba menjawab pertanyaan filosofis tentang eksistensinya dengan berbagai aliran pemikiran. Enta berapa tinta dan darah yang telah dihabiskan.
Ada yang mengikuti materialisme, aliran yang meyakini bahwa hidup ini hanyalah soal materi, segala sesuatu berpusat pada kebutuhan fisik, kesenangan duniawi, dan pencapaian tangible. “Hidup untuk makan, bekerja, bercinta, dan menumpuk harta,” begitu kira-kira ringkasannya.
Namun, bagi Imron, pandangan ini terasa dangkal. Ia tak bisa menerima bahwa kehidupan yang penuh misteri ini hanya sebatas urusan perut, kelamin, dan dompet. Ada sesuatu yang lebih besar, ia yakin, meski ia belum tahu apa itu.
Lalu, ia pernah membaca tentang eksistensialisme, aliran yang menekankan bahwa manusia bebas menentukan makna hidupnya sendiri. “Kita ada dulu, baru kita ciptakan tujuan,” kata Jean-Paul Sartre, filsuf nyentrik yang sering dikutip anak-anak filsafat semester awal-awal. Ide ini sempat membuatnya bersemangat. Bayangkan, ia bisa menjadi penulis naskah hidupnya sendiri!
Tapi, kegembiraan itu cepat memudar. Kebebasan itu terasa seperti beban dan lebih mirip kutukan daripada anugerah. Jika tak ada panduan, tak ada peta, bagaimana ia tahu bahwa pilihan yang ia buat benar? Imron malah semakin tersesat dalam labirin kebebasan yang membingungkan.
Tak berhenti di situ, Imron juga mencoba memahami pandangan kaum sufi. Dalam buku-buku tasawuf yang ia temukan di pasar loak, ia membaca bahwa dunia hanyalah ilusi, dan tujuan sejati manusia adalah menyatu dengan Tuhan melalui perenungan dan pelepasan diri dari ikatan duniawi. “Mungkin ini jawabannya,” pikir Imron suatu malam, sambil menatap langit berbintang.
Tapi, lagi-lagi, kepuasan itu tak bertahan lama. Jika dunia ini cuma bayangan, lalu untuk apa ia bersusah payah bangun pagi, bekerja, dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya? Ia merasa pandangan ini terlalu menjauhkannya dari realitas yang ia jalani sehari-hari.
Hari-hari Imron pun berlalu dalam ketidakpastian. Materialisme terlalu sempit, eksistensialisme terlalu bebas, dan sufisme terlalu abstrak. Ia seperti pelancong yang kelelahan, mencoba berbagai jalan, tapi tak satu pun membawanya ke tujuan yang ia inginkan.
Lama memikirkan ini tidak terasa jam menunjukkan pukul 03:03. Imron tersenyum kecil, penuh ironi. “Jam tiga selalu terlalu awal atau terlalu terlambat untuk apa pun yang ingin kau lakukan,” gumamnya pada diri sendiri.
Jika ia tidur sekarang, ia tahu paginya akan kacau, bangun kesiangan, kepala pening, dan rutinitasnya berantakan. Tapi jika ia tetap terjaga, kelelahan akan menyeretnya seperti karung pasir sepanjang hari. Ia terjebak dalam dilema kecil yang entah mengapa terasa begitu simbolis bagi hidupnya: selalu ada di antara dua pilihan, tapi tak pernah benar-benar puas dengan yang mana pun.
Sambil menatap jam yang terus berdetak, pikiran Imron melayang lebih jauh. Keresahannya tak lagi hanya soal makna hidup pribadinya. Dunia di sekitarnya, ia sadari, semakin tak ramah, baik pada lingkungan maupun pada jiwa manusia.
Ia teringat berita yang ia baca kemarin: hutan-hutan yang menyusut, sungai-sungai yang dipenuhi sampah plastik, dan udara yang semakin sulit dihirup. Di ponselnya, ia sering melihat postingan tentang krisis iklim, data yang menunjukkan suhu bumi yang terus naik, es di kutub yang mencair, dan bencana alam yang semakin sering.
Tapi bukan hanya lingkungan yang membuatnya gelisah. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tak kasat mata, yang hilang dari dunia ini: spiritualitas. Imron melihat bagaimana teknologi dan informasi yang berlimpah justru membuat orang semakin terputus dari diri mereka sendiri.
Media sosial penuh dengan pertengkaran, flexing, dan kebisingan yang tak ada habisnya. Imron sendiri kadang terjebak di dalamnya, menggulir layar ponselnya sampai larut malam. Spiritualitas yang dulu mungkin ditemukan dalam keheningan atau perenungan, kini terkubur di bawah tumpukan notifikasi dan algoritma.
Angin malam bertiup lebih kencang, menggoyang daun-daun kering yang berserakan di halaman kos. Imron menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dunia yang tak ramah lingkungan dan hilangnya spiritualitas hanya menambah lapisan baru pada kegelisahannya.
Begitu ia hendak bangun dan masuk ke kamar untuk tidur, setidaknya mencoba menutup mata, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
Beberapa bulan lalu, Imron pernah mendengar ceramah dari Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, di sebuah acara daring yang ia ikuti. Haedar berbicara tentang kedudukan manusia sebagai “‘abdullah” (QS Az-Zariyat ayat 56) dan sebagai “khalifah fi al-ardl” (QS. Al-Baqarah ayat 30 dan Hud ayat 61). Dua peran ini, kata Haedar, adalah kualitas unik yang tak dimiliki makhluk lain di alam semesta.
Imron ingat betul bagaimana Prof Haedar menjelaskan bahwa dua sisi ini, abdullah dan khalifatullah, adalah kunci dari risalah Allah untuk manusia. Manusia bukan sekadar makhluk duniawi yang hidup untuk makan dan menumpuk harta, seperti yang diyakini materialisme. Tapi ia juga bukan makhluk bayangan yang harus menolak dunia sepenuhnya, seperti pandangan ekstrem kaum sufi.
Manusia adalah makhluk ukhrawi sekaligus duniawi, dan kedua dimensi itu harus diletakkan dalam keseimbangan yang moderat. Kehidupan akhirat sama pentingnya dengan kehidupan dunia.
“Bangunan kehidupan yang ingin diciptakan itu pro-kehidupan, pro-dunia, tetapi dunia tidak hanya untuk dunia, melainkan dunia untuk kehidupan yang lebih panjang,” kata Prof Haedar dalam ceramah itu. “Maka hidup manusia selain harus saleh, dia harus berguna dan bermanfaat.”
Imron masih ingat nada suara Prof Haedar yang tenang tapi penuh keyakinan. Prof Haedar ingin kader Muhammadiyah memiliki kepribadian ganda: taat kepada Allah sekaligus berkontribusi positif bagi lingkungan.
Imron diam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di pikirannya. Mungkin ini yang selama ini ia cari: sebuah jalan tengah. Bukan mengejar dunia secara membabi buta, bukan pula melarikan diri darinya, tapi menjalani hidup dengan kesadaran bahwa ia punya tugas untuk dirinya, untuk Tuhannya, dan untuk bumi yang ia pijak.
Angin malam masih bertiup, tapi kali ini rasanya sedikit lebih ringan di dadanya. Jam sudah menunjukkan pukul 03:15, dan meski matanya berat, ia memutuskan untuk tidur, berharap esok hari ia bisa mulai mencari cara untuk menghidupkan kembali “dwifungsi” itu dalam dirinya sendiri.
Imron kemudian membuat story di akun Instagramnya, captionnya begitu kuat:
“Dwifungsi manusia: YES! Dwifungsi militer: NO!”
#KontrakanImron